Jumat, 03 Juni 2011

NITIP TAS AWUF


Istilah "tasawuf"(sufism), yang telah sangat populer digunakan selama berabad-
abad, dan sering dengan bermacam-macam arti, berasal dari tiga huruf Arab,
sha, waudan fa. Banyak pendapat tentang alasan atas asalnya dari sha wa fa.
Ada yang berpendapat, kata itu berasal darishafa yang berarti kesucian.
istilahtasawuf berarti orang-orang yang tertarik kepada
pengetahuan batin, orang-orang yang tertarik untuk menemukan suatu
jalan atau praktik ke arah kesadaran dan pencerahan batin.

Menurut Syekh Ibn Ajiba (m.1809):
Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya Anda belajar bagaimana
berperilaku supaya berada dalam kehadiran Tuhan yang Maha ada melalui penyucian batin dan mempermanisnya dengan amal baik. Jalan tasawuf dimulai sebagai suatu ilmu, tengahnva adalah amal. dan akhirnva adalah karunia Ilahi.
Dalam tasawwuf seringkali dikenal istilah Thariqah, yang berarti jalan, yakni jalan untuk mencapai Ridla Allah. Dengan pengertian ini bisa digambarkan, adanya kemungkinan banyak jalan, sehingga sebagian sufi menyatakan, At thuruk bi adadi anfasil mahluk, yang artinya jalan menuju Allah itu sebanyak nafasnya mahluk, aneka ragam dan bermacam macam. Kendati demikian orang yang hendak menempuh jalan itu haruslah berhati hati, karena dinyatakan pula, Faminha Mardudah waminha maqbulah, yang artinya dari sekian banyak jalan itu, ada yang sah dan ada yang tidak sah, ada yang diterima dan ada yang tidak diterima. Yang dalam istilah ahli Thariqah lazim dikenal dengan ungkapan, Muâtabarah. Wa ghairu Muâtabarah.
KH. Dzikran Abdullah menjelaskan, awalnya Thariqoh itu dari Nabi yang menerima wahyu dari Allah, melalui malaikat Jibril. Jadi, semua Thariqah yang Muâtabarah itu, sanad(silsilah)-nya muttashil (bersambung) sampai kepada Nabi. Kalau suatu Thariqah sanadnya tidak muttashil sampai kepada Nabi bisa disebut Thariqah tidak (ghairu). Barometer lain untuk menentukan ke-mu`tabarah-an suatu Thariqah adalah pelaksanaan syariat. Dalam semua Thariqah Mu`tabarah syariat dilaksanakan secara benar dan ketat.
Diantara Thariqah Muktabarah itu adalah :
Thariqah Syathariyah pertama kali digagas oleh Abdullah Syathar (w.1429 M). Thariqah Syathariyah berkembang luas ke Tanah Suci (Mekah dan Medinah) dibawa oleh Syekh Ahmad Al-Qusyasi (w.1661/1082) dan Syekh Ibrahim al-Kurani (w.1689/1101). Dan dua ulama ini diteruskan oleh Syekh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili ke Nusantara, kemudian dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhan al-Din ke Minangkabau. Thariqah Syathariyah sesudah Syekh Burhan al-Din, berkembang pada 4 (empat) kelompok, yaitu; Pertama silsilah yang diterima dari Imam Maulana. Kedua, silsilah yang dibuat oleh Tuan Kuning Syahril Lutan Tanjung Medan Ulakan. Ketiga, silsilah yang diterima oleh Tuanku Ali Bakri di Sikabu Ulakan. Keempat; silsilah oleh Tuanku Kuning Zubir yang ditulis dalam Kitabnya yang berjudul Syifa’ al-Qulub. Thariqah ini berkembang di Minangkabau dan sekitarnya. Untuk mendukung ke1embagaan Thariqah, kaum Syathariyah membuat lembaga formal berupa organisasi sosial keagamaan Jamaah Syathariyah Sumatera Barat, dengan cabang dan ranting-ranting di seluruh alam Minangkabau, bahkan di propinsi-tetangga Riau dan jambi. Bukti kuat dan kokohnya kelembagaan Thariqah Syathariyah dapat ditemukan wujudnya pada kegiatan ziarah bersama ke makam Syekh Burhan al-Din Ulakan.
Sementara Thariqah Naqsyabandiyah masuk ke Nusantara dan Minangkabau pada tahun 1850. Thariqah Naqsyabandiyah sudah masuk ke Minangkabau sejak abad ke 17, pintu masuknya me1alui daerah Pesisir Pariaman, kemudian terus ke Agam dan Limapuluh kota. Thariqah Naqsyabandiyah diperkenalkan ke wilayah ini pada paruh pertama abad ketujuh belas oleh Jamal al-Din, seorang Minangkabau yang mula-mula belajar di Pasai sebelum dia melanjukan ke Bayt al-Faqih, Aden, Haramain, Mesir dan India. Naqsyabandiyah merupakan salah satu Thariqah sufi yang paling luas penyebarannya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim serta Turki, Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga Ural. Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alfi Tsani (Pembaru Milenium kedua, w. 1624). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan Thariqah tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah. Ciri yang menonjol dari Thariqah Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari’at secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati (Sirri). Penyebaran Thariqah Naqsyabandiyah Khalidiyah ditunjang oleh ulama ulama Minangkabau yang menuntut ilmu di Mekah dan Medinah, mereka mendapat bai’ah dari Syekh Jabal Qubays di Mekah dan Syekh Muhammad Ridwan di Medinah. Misalnya, Syekh Abdurrahman di Batu Hampar Payakumbuh (w. 1899 M), Syekh Ibrahim Kumpulan Lubuk Sikaping, Syekh Khatib Ali Padang (w. 1936), dan Syekh Muhammad Sai’d Bonjol. Mereka adalah ulama besar dan berpengaruh pada zamannya serta mempunyai anak murid mencapai ratusan ribu, yang kemudian turut menyebarkan Thariqah ini ke daerah asal masing masing Di Jawa Tengah Thariqah Naqsabandiyah Kholidiyyah disebarkan oleh KH. Abdul Hadi Girikusumo Mranggen yang kemudian menyebar ke Popongan Klaten, KH. Arwani Amin Kudus, KH. Abdullah Salam Kajen Margoyoso Pati, KH. Hafidh Rembang. Dari dari tangan mereka yang penuh berkah, pengikut Thariqah ini berkembang menjadi ratusan ribu. Di Aceh thariqah ini dikembangkan oleh seorang ulama besar yang menjadi maha guru dari seluruh ulama Aceh sesudah beliau yaitu Syekh Muda Waly Al Khalidi. Sepeninggal beliau Thariqah ini terus dikembangkan oleh anak anak beliau beserta seluruh murid murid beliau yang tersebar di seantero Aceh. Pada saat ini Thariqah ini merupakan thariqah yang paling banyak penganutnya di Aceh.Ajaran dasar Thariqah Naqsyabandiyah pada umumnya mengacu kepada empat aspek pokok yaitu: syari’at, thariqat, hakikat dan ma’rifat. Ajaran Thariqah Naqsyabandiyah ini pada prinsipnya adalah cara-cara atau jalan yang harus dilakukan oleh seseorang yang ingin merasakan nikmatnya dekat dengan Allah. Ajaran yang nampak ke permukaan dan memiliki tata aturan adalah khalwat atau suluk. Khalwat ialah mengasingkan diri dari keramaian atau ke tempat yang terpencil, guna melakukan zikir dibawah bimbingan seorang Syekh atau khalifahnya, selama waktu 10 hari atau 20 hari dan sempurnanya adalah 40 hari. Tata cara khalwat ditentukan oleh syekh antara lain; tidak boleh makan daging, ini berlaku setelah melewati masa suluk 20 hari. Begitu juga dilarang bergaul dengan suami atau istri; makan dan minumnya diatur sedemikian rupa, kalau mungkin sesedikit mungkin. Waktu dan semua pikirannya sepenuhnya diarahkan untuk berpikir yang telah ditentukan oleh syekh atau khalifah..
Thariqat Ahmadiyah didirikan oleh Ahmad ibn Aly (al-Husainy al-Badawy). Diantara nama-nama gelaran yang telah diberikan kepada beliau ialah Syihabuddin, al-Aqthab, Abu al-Fityah, Syaikh al- Arab dan al-Quthab an-Nabawy. Malah, asy-Syaikh Ahmad al-Badawy telah diberikan nama gelar (laqab) yang banyak, sampai dua puluh sembilan nama. Al-Ghautha al-Kabir, al-Quthab al-Syahir, Shahibul-Barakat wal-Karamat, asy-Syaikh Ahmad al-Badawy adalah seorang lelaki keturunan Rasulullah SallAllahu alaihi wa sallam, melalui Sayidina al-Husain. Shalawat Badawiyah sughra dan Kubra, adalah shalawat yang amat dikenal masarakat Indonesia, dinisbatkan kepada waliyullah Sayid Ahmad Badawi ini, akan tetapi Tarekat badawiyah sendiri tidak berkembang secara luas di indonesia khususnya di Jawa
Abul Hasan Ali asy-Sadzili, merupakan tokoh Thariqah Sadziliyah yang tidak meninggalkan karya tulis di bidang tasawuf, begitu juga muridnya, Abul Abbas al-Mursi, kecuali hanya ajaran lisan tasawuf, Doa, dan hizib. Ketika ditanya akan hal itu, ia menegaskan : karyaku adalah murid muridku, Asadzili mempunyai murid yang amat banyak dan kebanyakan mereka adalah ulama ulama masyhur pada zamannya, dan bahkan dikenal dan dibaca karya tulisnya hingga hari ini. Ibn Atha’illah as-Sukandari adalah orang yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga kasanah Thariqah Sadziliyah tetap terpelihara. Ibn Atha’illah juga orang yang pertama kali menyusun karya paripurna tentang aturan-aturan Thariqah Sadziliah, pokok-pokoknya, prinsip-prinsipnya, yang menjadi rujukan bagi angkatan-angkatan setelahnya. Sebagai ajaran, Thariqah ini dipengaruhi oleh al-Ghazali dan al-Makki. Salah satu perkataan as-Sadzili kepada murid-muridnya: “Jika kalian mengajukan suatu permohonanan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid al-Ghazali”. Perkataan yang lainnya: “Kitab Ihya’ Ulum ad-Din, karya al-Ghozali, mewarisi anda ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki, mewarisi anda cahaya.” Selain kedua kitab tersebut, al-Muhasibi, Khatam al-Auliya, karya Hakim at-Tarmidzi, Al-Mawaqif wa al-Mukhatabah karya An-Niffari, Asy-Syifa karya Qadhi ‘Iyad, Ar-Risalah karya al-Qusyairi, Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn Atah’illah. Thariqah Sadzaliah berkembang pesat di Jawa, tercatat Ponpes Mangkuyudan Solo, Kyai Umar , Simbah Kyai Dalhar Watucongol, Simbah Kyai Abdul malik Kedongparo Purwokerto, KH Muhaiminan Parakan, KH. Abdul Jalil Tulung Agung. KH . Habib Lutfi Bin Yahya, Pekalongan .Simbah KH.M.Idris, kacangan Boyolali, adalah pemuka pemuka Sadzaliah yang telah membaiat dan membina ratusan ribu bahkan jutaan murid Sadziliah.
Thariqah Qodiriyah dinisbahkan kepada Syekh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani. Lahir di Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Riwayat hidup dan keutamaan akhlak (Manaqib) Syech Abdul Qodir Jaelani ini, dikenal luas oleh masarakat Indonesia khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan dibaca dalam acara-acara tertentu guna tabarruk dan tawassul kepada Syekh Abdul Qodir. Thariqah Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, Thariqah ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru berkembang setelah Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga mengaku keturunan Syekh Abdul Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, Thariqah Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M. Thariqah Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syekh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti Thariqah gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi Thariqah yang lain ke dalam Thariqahnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Syekh Abdul Qadir Jaelani sendiri,”Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syekh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.” Seperti halnya Thariqah di Timur Tengah. Sejarah Thariqah Qodiriyah di Indonesia juga berasal dari Makkah al-Mukarromah. Thariqah Qodiriyah menyebar ke Indonesia pada abad ke-16, khususnya di seluruh Jawa, seperti di Pesantren Pegentongan Bogor Jawa Barat, Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat, Mranggen Jawa Tengah, Rejoso Jombang Jawa Timur dan Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Syekh Abdul Karim dari Banten adalah murid kesayangan Syekh Khatib Sambas yang bermukim di Makkah, merupakan ulama paling berjasa dalam penyebaran Thariqah Qodiriyah. Murid-murid Syekh Sambas yang berasal dari Jawa dan Madura, setelah pulang ke Indonesia menjadi penyebar Thariqah Qodiriyah tersebut.
Di Jawa Tengah Thariqah Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah muncul dan berkembang antara lain dari Mbah Ibrahim Brumbung Mranggen diturunkan kepada antara lain KH. Muslih pendiri Ponpes Futuhiyyah ,Mranggen. Dari Kyai Muslih ini lahir murid-murid Thariqah yang banyak. Dan dari tangan mereka berkembang menjadi ratusan ribu pengikut. Demikian pula halnya Simbah Kyai Siradj Solo yang mengembangkan Thariqah ini ke berbagai tempat melalui anak muridnya yang tersebar ke pelosok Jawa Tengah hingga mencapai puluhan ribu pengikut. Sementara di Jawa Timur, Thariqah ini dikembangkan oleh KH. Mustaâin Romli Rejoso Jombang dan Simbah Kyai Utsman yang kemudian dilanjutnya putra-putranya diantaranya KH. Asrori yang juga mempunyai murid ratusan ribu. Di Jawa Barat tepatnya di Ponpes Suryalaya Tasikmalaya juga turut andil membesarkan Thariqah ini sejak mulai zaman Abah Sepuh hingga Abah Anom dan murid-muridnya yang tersebar di berbagai penjuru Jawa Barat.
Thariqah Alawiyyah berbeda dengan Thariqah sufi lain pada umumnya. Perbedaan itu, misalnya, terletak dari praktiknya yang tidak menekankan segi-segi riyadlah (olah ruhani) yang berat, melainkan lebih menekankan pada amal, akhlak, dan beberapa wirid serta dzikir ringan. Sehingga wirid dan dzikir ini dapat dengan mudah dipraktikkan oleh siapa saja meski tanpa dibimbing oleh seorang mursyid. Ada dua wirid yang diajarkannya, yakni Wirid Al-Lathif dan Ratib Al-Haddad.serta beberapa ratib lainnya seperti Ratib Al Attas dan Alaydrus juga dapat dikatakan, bahwa Thariqah ini merupakan jalan tengah antara Thariqah Syadziliyah (yang menekankan olah hati) dan batiniah) dan Thariqah Al-Ghazaliyah (yang menekankan olah fisik). Thariqah ini berasal dari Hadhramaut, Yaman Selatan dan tersebar hingga ke berbagai negara, seperti Afrika, India, dan Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Thariqah ini didirikan oleh Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir lengkapnya Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajirseorang tokoh sufi terkemuka asal Hadhramat. Al Imam Faqihil Muqaddam Muhammad bin Ali Baalwi, juga merupakan tokoh kunci Thariqah ini. Dalam perkembangannya kemudian, Thariqah Alawiyyah dikenal juga dengan Thariqah Haddadiyah, yang dinisbatkan kepada Habib Abdullah al-Haddad, Attasiyah yang dinisbatkan kepada Habib Umar bin Abdulrahman Al Attas, serta Idrusiyah yang dinisbatkan kepada Habib Abdullah bin Abi Bakar Alaydrus, selaku generasi penerusnya. Sementara nama Alawiyyah berasal dari Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir. Thariqah Alawiyyah, secara umum, adalah Thariqah yang dikaitkan dengan kaum Alawiyyin atau lebih dikenal sebagai saadah atau kaum sayyid keturunan Nabi Muhammad SAW yang merupakan lapisan paling atas dalam strata masyarakat Hadhrami. Karena itu, pada masa-masa awal Thariqah ini didirikan, pengikut Thariqah Alawiyyah kebanyakan dari kaum sayyid di Hadhramaut, atau Ba Alawi.Thariqah ini dikenal pula sebagai Toriqotul abak wal ajdad, karena mata rantai silisilahnya turun temurun dari kakek,ayah, ke anak anak mereka, dan setelah itu diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat muslim lain dari non-Hadhrami. Di Purworejo dan sekitarnya Thariqah ini berkembang pesat, diikuti bukan hanya oleh para saadah melainkan juga masarakat non saadah , Sayid Dahlan Baabud, tercatat sebagai pengembang Thariqah ini, yang sekarang dilanjutkan oleh anak cucunya.
Umumnya, nama sebuah Thariqah diambil dari nama sang pendiri Thariqah bersangkutan, seperti Qadiriyah dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani atau Naqsyabandiyah dari Baha Uddin Naqsyaband. Tapi Thariqah Khalwatiyah justru diambil dari kata khalwat, yang artinya menyendiri untuk merenung. Diambilnya nama ini dikarenakan seringnya Syekh Muhammad Al-Khalwati (w. 717 H), pendiri Thariqah Khalwatiyah, melakukan khalwat di tempat-tempat sepi. Secara nasabiyah, Thariqah Khalwatiyah merupakan cabang dari Thariqah Az-Zahidiyah, cabang dari Al-Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh Syekh Syihabuddin Abi Hafs Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi (539-632 H). Thariqah Khalwatiyah berkembang secara luas di Mesir. Ia dibawa oleh Musthafa al-Bakri (lengkapnya Musthafa bin Kamaluddin bin Ali al-Bakri as-Shiddiqi), seorang penyair sufi asal Damaskus, Syiria. Ia mengambil Thariqah tersebut dari gurunya yang bernama Syekh Abdul Latif bin Syekh Husamuddin al-Halabi. Karena pesatnya perkembangan Thariqah ini di Mesir, tak heran jika Musthafa al-Bakri dianggap sebagai pemikir Khalwatiyah oleh para pengikutnya. Karena selain aktif menyebarkan ajaran Khalwatiyah ia juga banyak melahirkan karya sastra sufistik. Diantara karyanya yang paling terkenal adalah Tasliyat Al-Ahzan (Pelipur Duka).
Thariqah Syattariyah adalah aliran Thariqah yang pertama kali muncul di India pada abad ke 15. Thariqah ini dinisbahkan kepada tokoh yang mempopulerkan dan berjasa mengembangkannya, Abdullah asy-Syattar. Awalnya Thariqah ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani, Thariqah ini disebut Bistamiyah. Kedua nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid al-Isyqi, yang dianggap sebagai tokoh utamanya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Thariqah Syattariyah tidak menganggap dirinya sebagai cabang dari persatuan sufi mana pun. Thariqah ini dianggap sebagai suatu Thariqah tersendiri yang memiliki karakteristik-karakteristik tersendiri dalam keyakinan dan praktik. Perkembangan mistik Thariqah ini ditujukan untuk mengembangkan suatu pandangan yang membangkitkan kesadaran akan Allah SWT di dalam hati, tetapi tidak harus melalui tahap fana’.
Penganut Thariqah Syattariyah percaya bahwa jalan menuju Allah itu sebanyak gerak napas makhluk. Akan tetapi, jalan yang paling utama menurut Thariqah ini adalah jalan yang ditempuh oleh kaum Akhyar, Abrar, dan Syattar. Seorang salik sebelum sampai pada tingkatan Syattar, terlebih dahulu harus mencapai kesempurnaan pada tingkat Akhyar (orang-orang terpilih) dan Abrar (orang-orang terbaik) serta menguasai rahasia-rahasia dzikir. Untuk itu ada sepuluh aturan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan Thariqah ini, yaitu taubat, zuhud, tawakkal, qana’ah, uzlah, muraqabah, sabar, ridla, dzikir, dan musyahadah.
Thariqah Tijaniyah didirikan oleh Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin al-Mukhtar at-Tijani (1737-1815), salah seorang tokoh dari gerakan “Neosufisme”. Ciri dari gerakan ini ialah karena penolakannya terhadap sisi eksatik dan metafisis sufisme dan lebih menyukai pengalaman secara ketat ketentuan-ketentuan syari’at dan berupaya sekuat tenaga untuk menyatu dengan ruh Nabi Muhammad SAW sebagai ganti untuk menyatu dengan Tuhan. At-Tijani dilahirkan pada tahun 1150/1737 di ‘Ain Madi, bagian selatan Aljazair. Sejak umur tujuh tahun dia sudah dapat menghafal al-Quran dan giat mempelajari ilmu-ilmu keislaman lain, sehingga pada usianya yang masih muda dia sudah menjadi guru.
Dia mulai bergaul dengan para sufi pada usia 21 tahun. Pada tahun 1176, dia melanjutkan belajar ke Abyad untuk beberapa tahun. Setelah itu, dia kembali ke tanah kelahirannya. Pada tahun 1181, dia meneruskan pengembaraan intelektualnya ke Tilimsan selama lima tahun. Di Indonesia, Tijaniyah ditentang keras oleh Thariqah-Thariqah lain. Gugatan keras dari kalangan ulama Thariqah itu dipicu oleh pernyataan bahwa para pengikut Thariqah Tijaniyah beserta keturunannya sampai tujuh generasi akan diperlakukan secara khusus pada hari kiamat, dan bahwa pahala yang diperoleh dari pembacaan Shalawat Fatih, sama dengan membaca seluruh al-Quran sebanyak 1000 kali. Lebih dari itu, para pengikut Thariqah Tijaniyah diminta untuk melepaskan afiliasinya dengan para guru Thariqah lain, Meski demikian, Thariqah ini terus berkembang, utamanya di Buntet- Cirebon dan seputar Garut (Jawa Barat), dan Jati barang brebes, Sjekh Ali Basalamah, dan kemudian dilanjutkan putranya, Sjekh Muhammad Basalamah, adalah muqaddam Tijaniah di Jatibarang yang pengajian rutinnya, dihadiri oleh puluhan ribu ummat Islam pengikut Tijaniah. Demikian pula Madura dan ujung Timur pulau Jawa, tercatat juga, sebagai pusat peredarannya. Penentangan terhadap Thariqah ini, mereda setelah, Jam’iyyah Ahlith-Thariqah An-Nahdliyyah menetapkan keputusan, Thariqah ini bukanlah Thariqah sesat, karena amalan-amalannya sesuai dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Keputusan itu diambil setelah para ulama ahli Thariqah memeriksa wirid dan wadzifah Thariqah ini.
Thoriqah Sammaniyah didirikan oleh Syekh Muhammad Samman yang bernama asli Muhammad bin Abd al-Karim al-Samman al-Madani al-Qadiri al-Quraisyi dan lebih dikenal dengan panggilan Samman. Beliau lahir di Madinah 1132 H/1718 M dan berasal dari keluarga suku Quraisy. Semula ia belajar Thariqah Khalwatiyyah di Damaskus, lama kelamaan ia mulai membuka pengajian yang berisi teknik dzikir, wirid dan ajaran teosofi lainnya. Ia menyusun cara pendekatan diri dengan Allah yang akhirnya disebut sebagai Thariqah Sammaniyah. Sehingga ada yang mengatakan bahwa Thariqah Sammaniyah adalah cabang dari Khalwatiyyah. Di Indonesia, Thariqah ini berkembang di Sumatera, Kalimantan dan Jawa. Sammaniyah masuk ke Indonesia pada penghujung abad 18 yang banyak mendapatkan pengikut karena popularitas Imam Samman. Sehingga manaqib Syekh Samman juga sering dibaca berikut dzikir Ratib Samman yang dibaca dengan gerakan tertentu. Di Palembang misalnya ada tiga ulama Thariqah yang pernah berguru langsung pada Syekh Samman, ia adalah Syekh Abd Shamad, Syekh Muhammad Muhyiddin bin Syekh Syihabuddin dan Syekh Kemas Muhammad bin Ahmad. Di Aceh juga terkenal apa yang disebut Ratib Samman yang selalu dibaca sebagai dzikir.


TAREKAT-TAREKAT DI INDONESIA
Beberapa sumber menyebutkan bahwa ajaran tarekat baru muncul pada abad ke-11, yakni sejak Abdul Qadir Jilani memperkenalkan Tarekat Qadiriyah di Baghdad. Namun praktik kesufian atau tasawuf diduga sudah ada sejak awal agama Islam muncul. Sri Mulyati dkk dalam buku berjudul Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia menyebutkan bahwa praktek tasawuf muncul setidaknya sejak abad ke-2 hijriyah, atau sekitar abad ke-10 masehi.

Pembahasan tentang tarekat kadang dibingungkan dengan istilah ‘tasawuf’ dan ‘sufi’. Dalam tradisi pesantren Jawa, istilah tasawuf dipakai semata-mata dalam kaitan aspek intelektual dari suatu tarekat. Sedangkan tarekat itu sendiri lebih mengarah pada pengertian yang bersifat etis dan praktis. Sedangkan sufi, biasanya dialamatkan kepada orang yang menjalani kegiatan tarekat tersebut.

APA DAN MENGAPA TAREKAT

Bagi kaum muslimin, syariah Islam diyakini mampu membantu setiap manusia dalam upayanya mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan memperoleh kebahagiaan sejati di dunia dan akherat. Dari syariah Islam yang kaya ‘makna’ itulah kemudian lahir terobosan-terobosan spiritual baik berupa pemahaman yang lebih mendalam maupun metodelogi yang mendukung syariah dalam membantu mencapai tujuan manusia secara lebih efektif dan efisien (tarekat). Maka dengan tarekat, setiap kaum Muslimin dapat menghayati syariah Islam yang dijalaninya secara lebih bermakna.

TOKOH-TOKOH PERINTIS TAREKAT DI INDONESIA

Beberapa tokoh yang dianggap sebagai perintis ajaran tarekat di Indonesia diantaranya : Hamzah Fansuri (w.1590), Syamsuddin al Sumatrani (w.1630), Nuruddin al Raniri (1637-1644), Syekh Yusuf al Makasari (1626-1699), Abdul Basir al Dharir al Khalwati alias Tuang Rappang I Wodi, Abdul Shamad al Palimbani, Nafis al Banjari, Syekh Ahmad Khatib Sambas (w.1873), Syekh Abdul Karim al Bantani, Kyai Thalhah dari Cirebon, dan Kyai Ahmad Hasbullah dari Madura.

Tiga nama terakhir, yakni Syekh Abdul Karim al Bantani, Kyai Thalhah, dan Kyai Ahmad Hasbullah adalah murid-murid dari Syekh Ahmad Khatib Sambas, ketiganya bertemu dan belajar dari Khatib Sambas di Makkah. Syekh Abdul Karim al Bantani beberapa tahun pulang ke Banten kemudian kembali lagi ke Makkah menjadi Syaikh menggantikan Khatib Sambas. Kyai Thalhah mengajarkan tarekat di Cirebon, dari garis beliau lahir beberapa tokoh tarekat diantaranya Syekh Abdul Mu’in yang mendirikan pesantren di Ciasem-Subang, Pangeran Sulendraningrat di Cirebon, dan Abah Sepuh pendiri pesantren Suryalaya, Tasikmalaya. Sedangkan dari garis Kyai Ahmad Hasbullah, muncul banyak nama dari klan Hasyim As’ari pendiri pesantren Tebu Ireng-Jombang.

MACAM-MACAM TAREKAT DI INDONESIA

Banyak macam tarekat yang tumbuh subur di Indonesia, beberapa diantaranya : Tarekat Qadiriyah, Tarekat Naqsyabandiyah, Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah, Tarekat Syadziliyah, Tarekat Khalwatiyah, Tarekat Syattariyah, Tarekat Sammaniyah, dan Tarekat Tijaniyah. Beberapa tarekat lain yang pengikutnya agak sedikit di Indonesia adalah Tarekat Chisytiyah, Tarekat Mawlayiyah, Tarekat Ni’matullah, dan Tarekat Sanusiyah.





















Biografi Syeikh Abdul Qadir Jaelani

JaelaniSyeikh Abdul Qodir Jaelani (bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani) lahir di Jailan atau Kailan tahun 470 H/1077 M, sehingga diakhir nama beliau ditambahkan kata Al Jailani atau Al Kailani atau juga Al Jiliydan.
(Biografi beliau dimuat dalam Kitab Adz Dzail ‘Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab Al Hambali. Buku ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia). Beliau wafat pada hari Sabtu malam, setelah maghrib, pada tanggal 9 Rabi’ul Akhir di daerah Babul Azajwafat di Baghdad pada 561 H/1166 M.
Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al-Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al-Ghazali.
Masa muda
Beliau meninggalkan tanah kelahiran, dan merantau ke Baghdad pada saat beliau masih muda. Di Baghdad belajar kepada beberapa orang ulama’ seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein Al Farra’ dan juga Abu Sa’ad Al Muharrimi. Beliau belajar sehingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama’. Suatu ketika Abu Sa’ad Al Mukharrimi membangun sekolah kecil-kecilan di daerah yang bernama Babul Azaj. Pengelolaan sekolah ini diserahkan sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani. Beliau mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim disana sambil memberikan nasehat kepada orang-orang yang ada tersebut. Banyak sudah orang yang bertaubat setelah mendengar nasehat beliau. Banyak orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang ke sekolah beliau, sehingga sekolah itu tidak muat menampungnya.
Murid-murid
Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama’ terkenal. Seperti Al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun kitab Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam. Juga Syeikh Qudamah penyusun kitab fiqh terkenal Al Mughni.
Perkataan ulama tentang beliau : Syeikh Ibnu Qudamah rahimahullah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir, beliau menjawab, ” kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Beliau menempatkan kami di sekolahnya. Beliau sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Beliau senantiasa menjadi imam dalam shalat fardhu.”
Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani sampai beliau meninggal dunia. (Siyar A’lamin NubalaXX/442). Beliau adalah seorang ‘alim. Beraqidah Ahlu Sunnah, mengikuti jalan Salafush Shalih. Dikenal banyak memiliki karamah-karamah. Tetapi banyak (pula) orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, “thariqah” yang berbeda dengan jalan Rasulullah, para sahabatnya, dan lainnya. Diantaranya dapat diketahui dari perkataan Imam Ibnu Rajab, ”
Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh banyak para syeikh, baik ‘ulama dan para ahli zuhud. Beliau banyak memiliki keutamaan dan karamah. Tetapi ada seorang yang bernama Al Muqri’ Abul Hasan Asy Syathnufi Al Mishri (Nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir Al Lakh-mi Asy Syath-Nufi. Lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun 713 H. Dia dituduh berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani) mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam tiga jilid kitab. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya ). Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar. Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh ( dari agama dan akal ), kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak berbatas. (Seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah mati, dan sebagainya.) semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani rahimahullah. Kemudian aku dapatkan bahwa Al Kamal Ja’far Al Adfwi (Nama lengkapnya ialah Ja’far bin Tsa’lab bin Ja’far bin Ali bin Muthahhar bin Naufal Al Adfawi. Seoarang ‘ulama bermadzhab Syafi’i. Dilahirkan pada pertengahan bulan Sya’ban tahun 685 H. Wafat tahun 748 H di Kairo. Biografi beliau dimuat oleh Al Hafidz di dalam kitab Ad Durarul Kaminah, biografi nomor 1452.) telah menyebutkan, bahwa Asy Syath-nufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini.”(Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa’dah 1415 H / 8 April 1995 M.). Imam Ibnu Rajab juga berkata, ” Syeikh Abdul Qadir Al Jailani rahimahullah memiliki pemahaman yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma’rifat yang sesuai dengan sunnah. Beliau memiliki kitab Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, kitab yang terkenal. Beliau juga mempunyai kitab Futuhul Ghaib. Murid-muridnya mengumpulkan perkara-perkara yang berkaitan dengan nasehat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang dengan sunnah. Beliau membantah dengan keras terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah.”
Syeikh Abdul Qadir Al Jailani menyatakan dalam kitabnya, Al Ghunyah, ” Dia (Allah ) di arah atas, berada diatas ‘arsyNya, meliputi seluruh kerajaanNya. IlmuNya meliputi segala sesuatu.” Kemudian beliau menyebutkan ayat-ayat dan hadist-hadist, lalu berkata ” Sepantasnya menetapkan sifat istiwa’ ( Allah berada diatas ‘arsyNya ) tanpa takwil ( menyimpangkan kepada makna lain ). Dan hal itu merupakan istiwa’ dzat Allah diatas arsy.” (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 515). Ali bin Idris pernah bertanya kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, ” Wahai tuanku, apakah Allah memiliki wali (kekasih ) yang tidak berada di atas aqidah ( Imam ) Ahmad bin Hambal?” Maka beliau menjawab, ” Tidak pernah ada dan tidak akan ada.”( At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 516).
Perkataan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani tersebut juga dinukilkan oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Al Istiqamah I/86. Semua itu menunjukkan kelurusan aqidahnya dan penghormatan beliau terhadap manhaj Salaf.
Sam’ani berkata, ” Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota Jailan. Beliau seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau.” Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A’lamin Nubala, dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut,”Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat.”
Imam Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Syeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh sehingga memberikan kesan seakan-akan beliau mengetahui hal-hal yang ghaib. Kemudian mengakhiri perkataan, ”Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya dan Allah menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang beriman ). Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau.”( Siyar XX/451 ). Imam Adz Dzahabi juga berkata, ” Tidak ada seorangpun para kibar masyasyeikh yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak diantara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi“.
Syeikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil,hal.136, ” Aku telah mendapatkan aqidah beliau ( Syeikh Abdul Qadir Al Jailani ) didalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. (Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94) Maka aku mengetahui bahwa dia sebagai seorang Salafi. Beliau menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj Salaf. Beliau juga membantah kelompok-kelompok Syi’ah, Rafidhah,Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf.” (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa’dah 1415 H / 8 April 1995 M.)
Inilah tentang beliau secara ringkas. Seorang ‘alim Salafi, Sunni, tetapi banyak orang yang menyanjung dan membuat kedustaan atas nama beliau. Sedangkan beliau berlepas diri dari semua kebohongan itu. Wallahu a’lam bishshawwab.
Kesimpulannya beliau adalah seorang ‘ulama besar. Apabila sekarang ini banyak kaum muslimin menyanjung-nyanjungnya dan mencintainya, maka itu adalah suatu kewajaran. Bahkan suatu keharusan. Akan tetapi kalau meninggi-ninggikan derajat beliau di atas Rasulullah shollallahu’alaihi wasalam, maka hal ini merupakan kekeliruan yang fatal. Karena Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasalam adalah rasul yang paling mulia diantara para nabi dan rasul. Derajatnya tidak akan terkalahkan disisi Allah oleh manusia manapun. Adapun sebagian kaum muslimin yang menjadikan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani sebagai wasilah ( perantara ) dalam do’a mereka, berkeyakinan bahwa do’a seseorang tidak akan dikabulkan oleh Allah, kecuali dengan perantaranya. Ini juga merupakan kesesatan. Menjadikan orang yang meninggal sebagai perantara, maka tidak ada syari’atnya dan ini diharamkan. Apalagi kalau ada orang yang berdo’a kepada beliau. Ini adalah sebuah kesyirikan besar. Sebab do’a merupakan salah satu bentuk ibadah yang tidak diberikan kepada selain Allah. Allah melarang mahluknya berdo’a kepada selain Allah. “Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya disamping (menyembah ) Allah. ( QS. Al-Jin : 18 )”
Jadi sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim untuk memperlakukan para ‘ulama dengan sebaik mungkin, namun tetap dalam batas-batas yang telah ditetapkan syari’ah. Akhirnya mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada kita sehingga tidak tersesat dalam kehidupan yang penuh dengan fitnah ini.
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Abdul Qadir Jaelani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpin anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M.
Syeikh Abdul Qadir Jaelani juga dikenal sebagai pendiri sekaligus penyebar salah satu tarekat terbesar didunia bernama Tarekat Qodiriyah. Awal Kemasyhuran Al-Jaba’I berkata bahwa Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani juga berkata kepadanya, “tidur dan bangunku sudah diatur. Pada suatu saat, dalam dadaku timbul keinginan yang kuat untuk berbicara. Begitu kuatnya sampai aku merasa tercekik jika tidak berbicara. Dan ketika berbicara, aku tidak dapat menghentikannya. Pada saat itu ada dua atau tiga orang yang mendengarkan perkataanku. Kemudian mereka mengabarkan apa yang aku ucapkan kepada orang-orang, dan merekapun berduyun-duyun mendatangiku di masjid Bab Al-Halbah. Karena tidak memungkinkan lagi, aku dipindahkan ke tengah kota dan dikelilingi dengan lampu. Orang-orang tetap datang di malam hari dan memakai lilin dan obor dan memenuhi tempat tersebut. Kemudian aku dibawa keluar kota dan ditempatkan di sebuah mushalla. Namun orang-orang tetap datang kepadaku, dengan mengendarai kuda, unta bahkan keledai dan menempati tempat disekelilingku. Saat itu hadir sekitar 70 orang para wali RadhiAllahu anhum.
Kemudian Syaikh Abdul Qadir melanjutkan, “Aku melihat Rasululloh SAW sebelum dzuhur, beliau berkata kepadaku, ’anakku, mengapa engkau tidak berbicara ?’. ’Ayahku, bagaimana aku yang non arab ini berbicara di depan orang-orang fasih dari Baghdad?’. Beliau berkata, ’buka mulutmu’, lalu beliau meniup 7 kali ke dalam mulutku kemudian berkata, ”bicaralah dan ajak mereka ke jalan Allah dengan hikmah dan peringatan yang baik”. Setelah itu aku shalat dzuhur dan duduk dan mendapati jumlah yang sangat luar biasa banyaknya sehingga membuatku gemetar. Kemudian aku melihat Ali r.a. datang dan berkata, ’buka mulutmu’. Beliau lalau meniup 6 kali kedalam mulutku dan ketika aku bertanya kepadanya mengapa beliau tidak meniup 7 kali seperti yang dilakukan Rasululloh SAW, beliau menjawab bahwa beliau melakukan itu karena rasa hormat beliau kepada RasuluLloh SAW. Kemudian akku berkata, ’Pikiran, sang penyelam, mencari mutiara ma’rifah dengan menyelami laut hati, mencampakkannya ke pantai dada , dilelang oleh lidah sang calo, kemudian dibeli dengan permata ketaatan dalam rumah yang diizinkan Allah untuk diangkat’”. Beliau kemudian menyitir :
Idan untuk wanita seperti Laila seorang pria dapat membunuh dirinya, dan menjadikan maut dan siksaan sebagai sesuatu yang manis
Dalam beberapa manuskrip saya mendapatkan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata, ”Sebuah suara berkata kepadaku saat aku berada di pengasingan diri, ‘kembali ke Baghdad dan ceramahilah orang-orang’. Akupun masuk Baghdad dan menemukan para penduduknya dalam kondisi yang tidak aku sukai dan karena itulah aku tidak jadi mengikuti mereka’. ‘sesungguhnya’ kata suara tersebut ,’mereka akan mendapatkan manfaat dari keberadaan dirimu’.
‘Apa hubungan mereka dengan keselamatan agamaku / keyakinanku’ tanyaku.
‘Kembali (ke Baghdad) dan engkau akan mendapatkan keselamatan agamamu’ jawab suara itu.
Akupun menbuat 70 perjanjian dengan Allah. Diantaranya adalah tidak ada seorangpun yang menentangku dan tidak ada seorang muridku yang meninggal kecuali dalam keadaan bertaubat. Setelah itu, aku kembali ke Baghdad dan mulai berceramah. Suatu ketika saat aku berceramah , aku melihat sebuah cahaya terang benderang mendatangi aku. ‘Apa ini dan ada apa?’tanyaku. ‘Rasululloh SAW akan datang menemuimu untuk memberikan selamat’ jawab sebuah suara. Sinar tersebut makin membesar dan aku mulai masuk dalam kondisi spiritual yang membuatku setengah sadar. Lalu aku melihat RasuLulloh SAW di depan mimbar, mengambang di udara dan memanggilku, ’wahai Abdul Qadir’. Begitu gembiranya aku dengan kedatangan RasuluLloh SAW , aku melangkah naik ke udara menghampirinya. Beliau meniup ke dalam mulutku 7 kali. Kemudian Ali datang dan meniup ke dalam mulutku 3 kali. ’mengapa engkau tidak melakukan seperti yang dilakukan RasuluLloh SAW?’ tanyaku kepadanya. ‘sebagai rasa hormatku kepada Rasulullah SAW‘ jawab beliau.
RasuluLlah SAW kemudian memakaikan jubah kehormatan kepadaku. ‘apa ini ?’ tanyaku. ‘ini’ jawab Rasulullah, ’adalah jubah kewalianmu dan dikhususkan kepada orang-orang yang mendapat derajad Qutb dalam jenjang kewalian’. Setelah itu , akupun tercerahkan dan mulai berceramah.
Saat Khidir as. Datang hendak mengujiku dengan ujian yang diberikan kepada para wali sebelumku, Allah membukakan rahasianya dan apa yang akan di katakannya kepadaku. Aku berkata kepadanya, ”Wahai Khidir, apabila engkau berkata kepadaku ’Engkau tidak akan sabar kepadaku’, maka aku akan berkata kepadamu ‘Engkau tidak akan sabar kepadaku’. Wahai Khidir, Engkau termasuk golongan Israel sedangkan aku termasuk golongan Muhammad, maka inilah aku dan engkau. Aku dan engkau seperti sebuah bola dan lapangan, yang ini Muhammad dan yang ini Ar-Rahman, ini kuda berpelana, busur terentang dan pedang terhunus.” Al-Khattab pelayan Syaikh Abdul QAdir meriwayatkan bahwa suatu hari ketika beliau sedang berceramah tiba-tiba beliau berjalan naik ke udara dan berkata, “Hai orang Israel, dengarkan apa yang dikatakan oleh kaum Muhammad” lalu kembali ke tempatnya. Saat ditanya mengenai hal tersebut beliau menjawab, ”Tadi Abu Abbas Al-Khidir as lewat, maka akupun berbicara kepadanya seperti yang kalian dengar tadi dan ia berhenti”.
Guru dan teladan kita Syaikh Abdul Qadir Al-Jilli berkata,” seorang Syaikh tidak dapat dikatakan mencapai puncak spiritual kecuali apabila 12 karakter berikut ini telah mendarah daging dalam dirinya yaitu :
Dua karakter dari Allah yaitu dia menjadi seorang yang Sattar (menutup aib) dan Ghaffar (Maha pemaaf).
Dua karakter dari RasuluLlah SAW yaitu penyayang dan lembut
Dua karakter dari Abu Bakar yaitu jujur dan dapat dipercaya.
Dua karakter dari Umar yaitu amar ma’ruf nahi munkar
Dua karakter dari Utsman yaitu dermawan dan bangun (tahajjud) pada waktu orang lain sedang tidur.
Dua karakter dari Ali yaitu aalim (cerdas/intelek) dan pemberani.
Masih berkenaan dengan pembicaraan di atas dalam bait syair yang dinisbatkan kepada beliau dikatakan :
Bila lima perkara tidak terdapat dalam diri seorang syaikh maka ia adalah Dajjal yang mengajak kepada kesesatan. Dia harus sangat mengetahui hukum-hukum syariat dzahir, mencari ilmu hakikah dari sumbernya, hormat dan ramah kepada tamu, lemah lembut kepada si miskin, mengawasi para muridnya sedang ia selalu merasa diawasi oleh Allah
Syaikh Abdul Qadir juga menyatakan bahwa Syaikh Al-Junaid mengajarkan standar Al-Qur’an dan Sunnah kepada kita untuk menilai seorang Syaikh. Apabila ia tidak hapal Al-Qur’an, tidak menulis dan menghapal Hadits, maka dia tidak pantas untuk diikuti.
Menurut saya (penulis buku) yang harus dimiliki seorang Syaikh ketika mendidik seseorang adalah dia menerima si murid untuk Allah, bukan untuk dirinya atau alasan lainnya. selalu menasihati muridnya, mengawasi muridnya dengan pandangan kasih. Lemah lembut kepada muridnya saat sang murid tidak mampu menyelesaikan Riyadhah. Dia juga harus mendidik si murid bagaikan anak sendiri dan orang tua penuh dengan kasih dan kelemah lembutan dalam mendidik anakknya. Oleh karena itu dia selalu memberikan yang paling mudah kepada si murid dan tidak membebaninya dengan sesuatu yang tidak mampu dilakukannya. Dan setelah sang muuriid bersumpah untuk bertobat dan selalu taat kepada Allah baru sang syaikh memberikan yang lebih berat kepadanya. Sesungguhnya bai’at bersumber dari hadits RasuluLlah SAW ketika beliau mengambil bai’at para sahabatnya.
Kemudian dia harus mentalqin si murid dengan zikir lengkap dengan silsilahnya. Sesungguhnya Ali ra. Bertanya kepada RasuluLloh SAW, ‘Yaa Rasulullah, jalan manakah yang terdekat untuk sampai kepada Allah, paling mudah bagi hambanya dan paling afdhal di sisi Nya. RasuluLlah berkata,’Ali, hendaknya jangan putus berzikir (mengingat) kepada Allah dalam khalwat (kontemplasinya)’. Kemudian Ali ra. Kembali berkata , ‘Hanya demikiankah fadhilah zikir, sedangkan semua orang berzikir’. RasuluLlah berkata,’Tidak hanya itu wahai Ali, kiamat tidak akan terjadi di muka bumi ini selama masih ada orang yang mengucapkan “Allah” “Allah”. ‘Bagaimana aku berzikir?’. Tanya Ali. RasuluLlah bersabda, ’dengarkan apa yang aku ucapkan. Aku akan mengucapkannya sebanyak tiga kali dan aku akan mendengarkan engkau mengulanginya sebanyak tiga kali pula’. Lalu RasuluLlah berkata, “Laa ilaaha illallah” sebanyak tiga kali dengan mata terpejam dan suara kjeras. Ucapan tersebut di ulang oleh Ali dengan cara yang sama RasuluLlah lakukan. Inilah asal talqin kalimat Laa ilaaha Illallah. Semoga Allah memberikan taufiknya kepada kita dengan kalimat tersebut”.
Syaikh Abdul Qadir berkata, ”Kalimat tauhid akan sulit hadir pasda seorang individu yang belum di talqin dengan zikir bersilsilah kepada RasulluLlah oleh Mursyidnya saat menghadapi sakaratil maut”.
Karena itulah Syaikh Abdul Qadir selalu mengulang-ulang syair yang berbunyi : Wahai yang enak diulang dan diucapkan (kalimat tauhid) jangan engkau lupakan aku saat perpisahan (maut).
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Syekh_Abdul_Qadir_Jaelani

Rabu, 18 Mei 2011

SEBUAH UNGKAPAN


MYWRITE
HILMAN INDRAWAN

LELAHKU…
Lelah. . Haruskah ku akhiri keletihan dgn diam tak menentu?
Saat langkah terasa lemah, dan tubuh dimandikan keletihan. Saat itulah puncak logika dlm keadaan yg statis. Dan apakah mata hrus brpura-pura memejamkan eksistensinya agar tak melihat knyataan di sekitar?

Hm..rasanya inginku mnjadi pmberontak akn keadaan ini. Ingin brlari ke ruang hampa yg mungkin mberikanku ketenangan. Ada apa ini?
Hh. . Lelahku ini telah melemahkn emosional dan logikaku..
Namun lelah ini sngguh hnyalah sbuah ungkapan , bkanlah sbuah keluhan.. Krna bagiku bila lelah itu kau anggap suatu ulah, mka hidupmu adlah ulahnya. Bila ksedihan kau anggap mslah, mka dirimulah msalahnya..

1 kata tuk brkarya

Hujan meleburkan kelelahan ini.. Kelelahan sulitnya menata kata demi kata. Kata sbgai perantara untukku memulai brtutur kata. Entah mengapa..rasa bgitu sukar tuk brbahasa.. Bahasa yg trsusun mnjdi sbuah estetika. Hm.. Lelah. . . Namun hujan membuatku tak ingin menyerah. Tak ingin kalah karna kata hrus sgera mnjadi sbuah karya. Ya.. Satu kata hrus membantuku tuk memulai brkarya

bata merah yang tak ingin bisu

oleh Hilman Ulul Albab pada 30 April 2011 jam 1:43
malam ini.. ku biarkan tintaku bergoyang, menulis apa yang aku ingin tulis. berfikir apa yang ingin aku fikirkan...
. disaat yang lain merasa rapuh dengan dirinyapadahal hidupnya serba berkecukupan. namun aku selalu bangga dengan kekuranganku... karena dengan kekuranganku aku mampu menjadi bata merah yang melangkapi bangunan yang tinggi..........
seringkali aku terjatuh,, namun tak sempat tubuh menyentuh tanah, apalagi bebatuan yang amat keras. sebelum tubuhku kotor karena keluhannku sendiri aku selalu berusaha untuk menjadi bata merah yang berada di bangunan paling tinggi itu. ya... walaupun ku sadar, aku hanyalah bata merah yang kapanpun  akan rapuh dan terjatuh menyentuh tanah keputusasaan. namun aku harus lebih menyadari bahwa akulah bata merah yang tak ingin hanya terdiam membisu.

catatanku, ungkapanku (pasca ditilang ) PENGEMIS BERSERAGAM

oleh : Hilman Indrawan
Pengemis merupakan "wajah" dari masalah sosial yang dikarenakan rendahnya ekonomi. tingkat kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi, tidak seimbang dengan pemenuhannya. sehingga hal ini yang menjadi salah satu faktor adanya pemecahan masalah oleh masyarakat yang tidak lagi notmatif.

            Pengemis di Indonesia, sering kita lihat di jalan-jalan raya, mereka rela berpanas-panasan hanya sekedar mengemis uang yang sedikit. rasa malu sudah tidak lagi dihiraukan, meskipun terkadang banyak orang yang mencibir dan menghinanya. dari kenyataan tersebut, penulis melihat dari ciri-cirinya, ternyata selain pengemis yang berbaju compang-camping, ada pula pengemis yang berpenampilan rapi, tegap, dan berseragam. siapakah pengemis berseragam itu ?

Bukanlah justifikasi yang salah, bila kita menjawab bahwa pengemis berseragam itu adalah oknum polantas. Dengan cirri-ciri yang sama namun berbeda cara, para oknum polantas elah menunjukan “kepengemisannya” dibalik kewibawaan seragam yang mereka gunakan. Mereka bersembunyi di belakang hokum dengan mengatasnamakan undang-undang sebagai penutup dari ‘aksinya’.
Keadilan telah buta ketika rupiah nampak pada mata yang telah buta pula. Kewajiban menegakan keadilan berubah menjadi menyemarakan kebohongan. Sangat ironis, gaji polantas yang tidak sedikit masih saja membuat mereka tidak puas. Masyarakat yang melanggar peraturan menjadi sasaran pendustaan hokum. Semakin sering mereka melakukan hal itu, semakin mereka mempertegas bahwa mereka hanyalah aparat ‘penjilat’, bukan aparat pelindung masyarakat.
Tidakka mereka berfikir tentang kemajuan bangsa ini? Jawabannya sudah jelas, bahwa dengan apa yang mereka lakukan, itu menunjukan tak ada sedikitpun mereka berfikir ke arah kemajuan.

Problematika mengenai KKN memang seolah mustahil untuk dibasmi di negeri yang kaya akan pengemis nepotisme ini. Seperti halnya yang dilakukan oleh para oknum polisi tersebut, mereka menjadi pengemis yang ‘gagah’ dengan kewenangan dan kekuasaanya. Dengan realita diatas, bisa kita simpulkan bahwa justru mereka sendiri sebagai para pengadil yang mesti diadili. Dan dengan adanya masalah tersebut, secara tidak langsung mereka telah menyebarkan ‘budaya’ KKN pada masyarakat, sehingga KKN akan benar-benar menjadi “seni budaya ” pendustaan hokum di Indonesia.

BUKAN '?'

oleh Hilman Ulul Albab pada 30 April 2011 jam 1:29
Dalam ruang tanpa sekat melengking ribuan rasio yang mempermainkan logikaku. Semua seolah samar merasuk dalam benakku. Ku lihat gambar dalam layar kecil, dasi-dasi tergantung pada leher-leher yang menengahi jas hitam. Mereka layaknya anak ayam yang saling berebut cacing. Pandanganku kosong seketika membayangkan wajah bangsa yang hanya tergambar sebuah kegelapan yang terpadamkan oleh anginnya sendiri.

sejenak ku berjalan mencoba meraba jalanan. AKU TERKEJUT... mataku seolah akan melompat dari peredarannya..
ratusan orang yang menamakan kaum intelektual sedang memacu semangatnya.. dengan bangganya mereka mempertahankan almamater dengan kerikil yang diterbangkan berupaya merobek almamater lawan.
hm....alangkah TIDAK lucunya negeri ini

LANGKAH UNTUK SANG AYAH (the story of struggle in sadness)

oleh Hilman Ulul Albab
Oleh : Ibnu Jadid (Hilman Indrawan)

Siang itu, gemuruh suara drum aksi dari eskul marching band mengiringi sepuluh lulusan berprestasi. Ilham, seorang anak sederhana menjadi salah satu diantaranya. Dengan tegapnya ilham bersama teman lainnya melangkah perlahan menuju panggung penghargaan. Iringan marching band dan atraksi dari mayoret membuat mereka tersanjung. Satu persatu nama-nama mereka bergema diantara lebih dari seribu siswa SMP saat itu. Tak sedikit air mata kebanggan menetes dari orang tua atas prestasi anak mereka. Tak ketinggalan pula haru biru dari para siswa larut dalam suasana perpisahan itu.
“kejar terus prestasimu nak, ibu bangga padamu.” Bisik seorang guru pada ilham.
“Terima kasih bu.” Balas ilham menahan haru.
Dilihatnya dari atas panggung, sahabat-sahabat tercinta tersenyum lebar sembari mengangkat kedua jempol tanda rasa bangga. Seketika ia tertunduk, ia menyadari bahwa perpisahan diambang waktu.
Ia turun menghampiri sahabat-sahabatnya, jabat tangan dan peluk hangat menjadi akhir dari acara perpisahan itu.
Setelah acara penutupan selesai, seluruh siswa bergegas pulang. Namun ada yang berbeda pada koridor kelas IX A. Ilham dan teman-teman sekelasnya berkumpul sejenak. Berbagai ucapan selamat dan pertanyaan dilontarkan kepada salah satu lulusan terbaik itu.
“Hai bro, selamat ya, lain kali ajak-ajak aku dong kalau naik panggung” ujar doni dengan ketawanya yang khas.
“iya ham, aku juga tambah kagum ma kamu” seolah tak mau kalah, sisil yang selama tiga tahun menyukai ilham pun ikut berkomentar.
“ha..ha..” dengan serentak teman-temanya mentertawakan sisil yang memang terkenal dengan kecentilannya.
“ah kalian sirik banget sih” sanggah sisil sembari memegangi rambutnya yang panjang.
Suasana kembali hangat seolah tak akan ada perpisahan di hari itu. Ilham sebagai objek pertanyaan terlihat begitu tenang dan berwibawa.
Diakhir perbincangan, gilang salah satu teman terdekat ilham bertanya “ham, nilai kamu kan tinggi, apa kamu akan mendaftar ke SMA favorit?”
Dengan senyumnya yang khas, Ilham menjawab “ tidak lang, aku mau ke pesantren saja”
“maksud kamu?” Gilang terkejut mendengarnya.
“nilai kamu besar ham, ngapain masuk pesantren?” potong Angga yang juga heran mendengarnya.
“teman-teman, pesantren adalah pilihanku sejak lama, bahkan sebelum aku masuk ke SMP pun pesantren telah menjadi pilihan, hanya saja kondisi saat itu membuatku mengurungkan niat” ungkap Ilham menjelaskan alasannya.
“ah kamu ham, mending masuk ke SMA negeri aja, kamu pasti diterima, secara nilaimu kan tinggi” ujar Erik yang juga menyayangkan keputusan Ilham.
“sudahlah, yang mau sekolah kan ilham, seharusnya kita mendukungnya. OK ” ujar Irsan teman sebangku Ilham.
“iya aku setuju, kita harus mendukungnya. Dan aku percaya sama kamu ham” bela Adi menghampiri Ilham.
”makasih teman-teman, doakan saja ya.. semoga aku sukses” ungkap Ilham menatap teman-temannya satu persatu.
Perbincanganpun berakhir, dan mereka saling berpelukan disertai haru yang menyelimuti. Kemudian kosonglah koridor kelas itu seiring dengan berpisahnya mereka.
                                                               *   *
Di rumah, ibu Ros seorang penjahit yang tiada lain adalah ibu kandung ilham, ia terperanjat dari mesin jahit ketika anaknya memanggil-manggil dirinya.
“ibu..ibu..aku bawa sesuatu bu” teriak Ilham memanggil ibunya.
”ada apa nak?, kamu ini membuat ibu kaget saja” Tanya ibu Ros menghampiri anaknya.
“ini bu..” Ilham memperlihatkan piagam yang ia bawa.
Dipegangnya piagam itu oleh ibu ros, air mata melintasi pipinya dan ia tatap dalam-dalam anaknya. Dan dengan nada pelan ia katakan ”ibu…ibu bangga padamu nak”.
 Lagi, kata-kata bangga itu terlontar dari orang yang ia cintai. Dan kini terlontar dari ibu kandungnya sendiri.
Ilham pun menatap balik ibunya dan mereka berpelukan.
Sementara mereka sedang larut dakam haru kebanggaan, pak Harun ayah kandung ilham tengah terbaring lemas karena sakitnya yang semakin parah.  Kemudian dihampirinya pak Harun oleh Ilham lalu ia peluk ayahnya yang sulit untuk berbicara itu.
 Pak harun telah hampir dua tahun menderita penyakit paru-paru. Beberapa kali beliau dirawat di rumah sakit, namun tak kunjung juga membaik. Ilham yang begitu dekat dengan ayahnya, kini hanya dapat menangis melihat keadaan ayahnya.
Dengan kondisi seperti itu, ilham bertekad ingin membanggakan ayahnya dengan prestasi dan cita-cita yang tinggi. Cita-cita mulia, cita-cita yang juga diharapkan oleh pak Harun yaitu menjadi pembaharu di tengah kondisi bangsa.
Keesokan harinya, tanpa menunda-nunda waktu, ilham bergegas mencari pesantren yang menjadi pilihannya. Walaupun ia hanya membawa secuil kertas yang berisikan alamat yang tak ia kenal, ilham tetap mencarinya bersama sepedanya yang ia pinjam dari saudaranya. Dengan penuh semangat ia mengayuh sepeda berkilo-kilo meter jauhnya. Di jalan, ketika perjalanan telah mencapai 6 km, tiba-tiba ban sepeda yang ia tumpangi meletus. Sungguh hal yang tidak pernah ia duga sebelumnya.
Dilihatnya isi saku yang ia bawa, ternyata ia hanya memiliki uang untuk mendaftar saja. Ia merasa sangat bingung, sejenak ia berfikir, dan akhirnya ia memutuskan untuk menyimpan dulu sepedanya di bengkel dan ia berjalan menuju pesantren.
Setapak demi setapak ia melangkah, ia tahu bahwa perjalanan masih 7 km lagi. Namun semangatnya tak pernah kendur. Terik matahari membuatnya terasa pusing, mengingat ia memang tengah berpuasa sunah. Namun itu bukanlah penghalang baginya.
Hingga akhirnya dari kejauhan ia lihat petunjuk bahwa Pesantren Al-Islam 84 hanya tinggal 500 m lagi. Melihat hal itu , semangatnya semakin terpacu, sehingga ia berlari menuju pesantren itu. Sesampainya di depan  gerbang pesantren, ia bersujud tanda syukur kepada Allah.
Saat itu, jarum jam menunjukan pukul 12:00. Maka ia pun menuju masjid pesantren untuk mendirikan shalat dzuhur. Dilihatnya sntri-santri berseragam rapi dan santriwati berjilbab begitu tertutup. Pemandanngan yang tak pernah ia lihat sebelumnya di sekolah-sekolah umum. Dalam hati ia berkata”subhanallah, aku langsung cinta pada pesantren ini”.
Seusai shalat, sedikit gugup ia alami saat menghadaPke kantor asatidz atau kantor guru bila di sekolahnya dulu. Masuklah ia ke dalam kantor, kemudian pembicaraan pun dimulai. Ilham yang tadi gugup, kini begitu antusias menceritakan tujuannya memilih pesantren dan perjuangannya hingga tiba di pesantren tersebut. Perbincangan terus berlangsung diantara mereka. Ust. Rahman memujinya, begitu pula asatidz lainnya. Namun kemudian ust.rahman berkata ” kami sangat menghargai niat dan tekad anda, namun mohon maaf kami tidak menerima lulusan selain dari tsanawiyah”
Mimik muka Ilham berubah, seolah tak percaya akan perkataan itu, ia menundukan pandangan.
“tapi tenang saja, kamu masih bisa menuntut ilmu di pesantren, namun bukan disini” ujar ust. Rahman menenangkan Ilham yang terlihat lesu.
 “ maksud ustadz? ” Tanya Ilham mengangkat kembali pandangannya.
“ kamu bisa sekolah di Pesantren Al-Islam 67 Benda Tasikmalaya, insyaallah disana menerima lulusan dari SMP. ” Papar ust. Rahman sembari meberikan alamatnya.
“ alhamdulillah..terima kasih banyak ustadz, hampir saja saya putus asa ” Ungkap Ilham yang begitu bersyukur mendengarnya.
Ilham pun menyalami satu persatu asatidz dan berpamitan kepada mereka.
“ assalamualaikum ” salam ilham seiring keluar dari ruangan kantor asatidz.
                                                                       *  *
Sabtu pagi, tepatnya dua hari sepulangnya dari Pesantren Al-Islam 84, Ilham menghancurkan tabungannya. Tabungan yang telah ia kumpulkan selama satu tahun. Kini akan ia gunakan untuk transport menuju pesantren yang berada di kota Tasikmalaya.
Ia berniat untuk berangkat pada sabtu malam. Sengaja ia memilih malam hari, karena ia tidak terbiasa dengan perjalanan siang. Kali ini ia pergi bersama luqman sahabatnya sejak kecil. Sabtu malam, sepulangnya dari masjid setelah mendirikan shalat isya, Ilham berpamitan kepada ibunya dan ia berangkat bersama Luqman.
Disaat lampu bundar berkelipan menyinari kemaksiatan malam dan para muda-mudi menghamburkan waktu memuaskan nafsunya, ilham justru tengah berjuang mencari ridho Allah. Sungguh, sesuatu perbedaan yang begitu mencolok dari kedua keadaan tersebut. Ya, remaja seperti ilham hanyalah minoritas di zaman modern ini.
Malam itu, Ilham dan Luqman mengendarai bus menuju kota Tasikmalaya, kota sejuta santri. Mereka begitu bersyukur dapat berangkat pada malam itu.
Malam yang semakin senyap, membuat mereka terlelap. Puluhan kilometer telah mereka lalui, dan sampailah mereka di Kabupaten Tasikmalaya. Namun mereka tak juga terbangun dari tidurnya. Sampai pada akhirnya seseorang bertopi hitam membangunkannya. Mereka bangun terperanjat karena kaget dan khawatir bila pesantren yang ia mereka tuju telah terlewat.
Dengan kantuk yang masih melekat, mereka hampiri supir bus dan bertanya kepadanya “ Pak, kalau Kecamatan Benda masih jauh tidak? ” Tanya Ilham yang penuh dengan cemas.
“maaf dek, tempat itu telah terlewat belasan kilometer tadi ” jawab pak supir.
“ apa? Terus bagaimana dengan kami pak? ” sahut Luqman yang begitu kaget mendengarnya.
“kalian turun saja disini, nanti tanyakan pada warga daerah sini” ujar Pak supir sembari memberhentikan kemudinya.
Akhirnya mereka pun diturunkan tepat di pangkalan ojeg depan mesjid yang telah terkunci. Mereka bengong saling pandang. Tak sepatah kata pun terucap. Kedua mata mereka seolah menangkap udara kosong. Seorang pria berjaket kulit menghampiri mereka. “ Dari mana dan mau kemana kalian? ” Tanya pria itu dengan ramah.
 “ Kami dari Bandung, dan akan ke Benda pak ” jawab Luqman.
 “oh mau ke Benda, saya bisa antar kalian kesana, ongkosnya Cuma 50.000 aja ” tawar pria yang ternyata tukang ojeg itu.
“50.000?” sahut Luqman yang kaget mendengarnya.
“ya sudah, kalau ga mau, tapi saya tidak menjamin kalian tidak akan tersasar di sini ”
“mohon maaf pak, tapi sebenarnya Kecamatan Benda itu ada dimana?”
“di Kabupaten Tasikmalaya belasan kilometer di belakang sana.”
“kabupaten ? tapi yang kami cari itu di kotamadya pak”
“oh, kecamtan Benda memang ada dua, dan kalau kalian cari yang di kotamadya, itu lebih jauh lagi. Karena sekarang ini kita berada di kabupatennya” papar tukang ojeg itu.
“baiklah pak, kami akan berjalan saja” ujar Ilham yang tak ragu memutuskan untuk berjalan kaki.
“ apa? Kota tasik itu masih jauh dek ” sahut tukang ojeg yang terheran-heran mendengar perkataan ilham.
“tidak apa pak, kami harus berjuang meskipun jauh”
“luar biasa, ya sudah hati-hati di jalan ya..”
“iya pak, terima kasih’ ucap Ilham dan Luqman berlalu meninggalkan pangkalan ojeg itu.
Gelap malam tu telah manunjukan pukul 00:00, mereka berjalan menelusuri jalanan. Lelah dan kantuk mereka rasakan. Belasan kilometer sudah mereka lalui, dan sampailah mereka di perbatasan antara Kabupaten dan Kotamadya Tasik. Sejenak mereka beristirahat, dilihatnya oleh mereka terdapat warung yang masih buka. Kemudian mereka hampiri warung itu. Namun tak ada satu pun orang  yang menjaga warung itu. Padahal Luqman hendak membeli obat karena sakit maghnya kambuh dan kakinya berdarah karena lecet. Ilham yang tak tega melihat keadaan sahabatnya, kemudian menggendong Luqman. Perjalanan kembali dilanjutkan. Asma allah terus Ilham lantunkan sembari menahan beratnya beban perjalanan karena menggendong sahabatnya. “ langkah ini untuk ayahku…langkah ini untuk ayahku…” berulang-ulang ia katakan kata-kata itu didalam hati. Akhirnya di ujung jalan, ia lihat bangunan kokoh berwarna hijau bertuliskan “ Pesantren Al-Islam 67 Benda Tasikmalaya”.
Betapa bahagianya Ilham ketika pesantren yang ia cari telah tampak di depan mata. Adzan shubuh menjadi akhir dari pencarian mereka. Namun mereka tak bisa langsung memasuki pesantren karena gerbangnya yang masih terkunci. Mereka pun shalat di masjid depan pesantren. Dzikir terucap dari bibir mereka, rasa syukur telah menghapus kelelahan yang ada. Ilham tak henti bersyukur dan mendoakan ayahnya yang kini tengah terbaring lemas di rumahnya. Namun tiba-tiba saja nada handphone milik luqman menjerit tanda sms dari bibi Ilham.
“ innalillahi wainnailaihi roji’un, semoga allah memberikan kesabaran terhadapmu ham. Ayahmu meninggal dunia. Ayahmu berpesan kalau kamu mesti melanjutkan terus langkah perjuanganmu.”
Pandangannya kosong, seolah tak percaya, pecahlah tangisan itu dari matanya. Tubuhnya roboh pada penjuru masjid. Ia benar-benar hancur melebur bersama kesedihannya. Ia peluk luqman dan dengan terbata-bata ia berkata “ sahabat, kau tahu mengapa aku rela berjuang menuju pesanntren ini? Semua itu untuk ayahku, langkah-langkah ini untuk kebanggaan ayahku. Tapi kini ia telah tiada, ia telah pergi meninggalkanku.”
Luqman mencoba terus menenagkannya, namun Ilham telah benar-benar hanyut dalam kesedihan. Dan akhirnya mereka pun kembali ke Bandung setelah mengunjungi pesantren dengan waktu yang benar-benar sedikit.
Meski ayahnya telah meninggal, namun langkah perjuangan ilham tak lantas terkubur oleh rasa putus asa. Semenjak kejadian itu, ilham selalu menjadikan pesan terakhir dari ayahnya sebagai motivasi. Dan kini ia terus melangkahkan perjuangan demi satu makna yang bernama mimpi, dan satu tujuan yaitu sukses.
                                                 *  *

HARUSKAH TERKUBUR SEMUA MIMPIKU?

oleh Hilman Ulul Albab pada 19 Mei 2011 jam 10:25
Perubahan Anda sudah disimpan.
akankah mimpiku terkubur karna suatu nilai bernama 'uang' ?
mengapa keluhan kini keluar bertub-tubi dari mulutku, mulut yang sbenarnya tak ingin mengeluh...

MEREKA BUKANLAH AKU. ya... aku adalah aku,, dan mereka tak usah ku beritahu siapa aku. namun biarkan mereka tahu sendiri siapa aku.

meski begitu, ternyata mereka tidak akan pernah mungkin tahu bila aku hanya membisu menutup eksistensiku.
hilman indrawan, itulah nama lengkapku. aku seorang mahasiswa yang penuh dengan mimpi. bahkan status mahasiswa itupun terlahir dari sebuah makna bernama mimpi. mimpi yang sebenarnya diragukan banyak orang,terutama saudaraku sendiri. namun satu kekuatan bernama TEKAD menendangku untuk terus berlari menggapai mimpi itu. ya... setidaknya sudah hampir 10 bulan (mei 2011) kartu tanda mahasiswa atas namaku telah ku kantongi.namun itu hanya status yang menutupi keluhan-keluhanku yang nyata. kini langkahku mengejar sinar kebanggan seolah akan terhenti. haruskah aku memejamkan mata dan tertidur seolah tak ingin tahu dan lupa akan cita yang telah tertata ini?
disaat harapan itu semakin menggebu, justru keadaan memaksaku untuk melemah. ibu.. dialah orang kini sangat ku cintai dia seorang wanita yang kuat. tanpa seorang suami ia korbankan dirinya dmi mas depanku. sungguh air mata ini tak mampu terbendung ketika aku harus melihat ibuku masih saja bergelut dengan mesin jahitnya hingga larut malam,dan tertidur ketika dini hari dan kembali terbangun shalaht malam untukku. ya.. hanya demi anaknya. bahkan tak jarang ia mancari pinjaman hanya untuk memberikan satu piring nasi untukku. hm....





Senin, 20 Desember 2010

Ketika Shalat Berjamaah Menjadi Solusi

Mahasiswa muslim merupakan calon cendikiawan muslim di masa yang akan datang. Peranannya dalam kemajuan islam sangat dibutuhkan. Namun, apakah predikat calon cendikiawan muslim itu selaras dengan perilakunya ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu kita perhatikan fakta yang ada pada saat ini.Fakta yang berkembang pada saat ini di perguruan tinggi islam seperti UIN, STAIN, PTAIS ternyata memiliki banyak kejanggalan pada mahasiswanya. Yakni adanya peran sebagai mahasiswa muslim yang kontradiktif dengan aplikasinya. Perilaku mahasiswa yang tidak islami justru menjadi predikat baru dari masyarakat. Bahkan tidak sedikit yang meragukan dan mencemoohnya.
Keadaan demikian tentu saja mesti dihilangkan bila tak ingin islam manjadi bulan-bulanan yahudi. Upaya untuk meminimalisir hal itu dibutuhkan kesadaran dari berbagai pihak. Kesadaran dalam meningkatkan perilaku mahasiswa menjadi lebih baik. Berbicara tentang kebaikan, tentu saja tidak terlepas dari peran agama. Tidak dipungkiri bahwa agama selalu menjadi solusi terbaik bagi masalah apapun.
Penerapan spiritual terhadap diri seseorang selalu manjadi  solusi alternatif ketika pendekatan logika dan emosional tak berpengaruh. Salah satu ritual yang memiliki keutamaan besar adalah shalat berjamaah. Shalat berjamaah memiliki keutamaan dua puluh derajat dari shalat sendiri. Kemudian adanya ketaatan terhadap imam yang memimpin shalat, jalinan ukhuwah dan yang terpenting adanya kekuatan jamaah yang bersama-sama bersujud kepada Allah S.w.t.
Dengan beberapa keutamaan shalat berjamaah tersebut, aplikasi yang dihasilkan akan menemukan perubahan dalam diri. Karena dengan diangkatnya derajat seseorang oleh Allah, maka telah terjadinya pembentukan dan peningkatan keimanan dan akhlak seseorang. Begitu pula dengan mahasiswa yang memiliki perilaku buruk. Mereka akan mengalami perubahan ketika shalat berjamaah telah dianggap sebagai sesuatu yang urgen dan dibutuhkan.
Sebuah solusi yang efektif bila suatu perguruan tinggi islam menerapkan kedisiplinan untuk selalu shalat berjamaah kepada mahasiswanya. Karena diakui atau tidak, bahwa masih banyak mahasiswa yang melalaikan hal ini. Bahkan melalaikan waku shalat. keberanian kampus menerapkan kedisiplinan shalat berjamaah memang jarang kita temukan. Anggapan mahasiswa telah dewasa dan tidak perlu banyak aturan baku memang tidak disalahkan. Namun sangat dibenarkan ketika kampus bersikap tegas dalam hal tersebut.
Mahasiswa muslim yang mejadi harapan ditengah kebobrokan dan kesulitan bangsa, harus dijadikan perhatian khusus bagi mahasiswa itu sendiri. Peran mahasiswa sebagai agen perubahan mesti dibarengi dengan perubahan pada diri pula. Dan dalam hal ini moral yang menjadi prioritas pembenahan. Karena hanya dengan moral lah perubahan mampu direalisasikan. Maka spiritual menjadi solusi pembenahan moral. itu Dan ibadah shalat berjamaah menjadi salah satu ibadah yang hadir sebagai solusinya. Wallahu A’lam Bishowwab


Rabu, 17 November 2010

Langkah untuk sang Ayah

Oleh : Ibnu Jadid (Hilman Indrawan)

Siang itu, gemuruh suara drum aksi dari eskul marching band mengiringi sepuluh lulusan berprestasi. Ilham, seorang anak sederhana menjadi salah satu diantaranya. Dengan tegapnya ilham bersama teman lainnya melangkah perlahan menuju panggung penghargaan. Iringan marching band dan atraksi dari mayoret membuat mereka tersanjung. Satu persatu nama-nama mereka bergema diantara lebih dari seribu siswa SMP saat itu. Tak sedikit air mata kebanggan menetes dari orang tua atas prestasi anak mereka. Tak ketinggalan pula haru biru dari para siswa larut dalam suasana perpisahan itu.
“kejar terus prestasimu nak, ibu bangga padamu.” Bisik seorang guru pada ilham.
“Terima kasih bu.” Balas ilham menahan haru.
Dilihatnya dari atas panggung, sahabat-sahabat tercinta tersenyum lebar sembari mengangkat kedua jempol tanda rasa bangga. Seketika ia tertunduk, ia menyadari bahwa perpisahan diambang waktu.
Ia turun menghampiri sahabat-sahabatnya, jabat tangan dan peluk hangat menjadi akhir dari acara perpisahan itu.
Setelah acara penutupan selesai, seluruh siswa bergegas pulang. Namun ada yang berbeda pada koridor kelas IX A. Ilham dan teman-teman sekelasnya berkumpul sejenak. Berbagai ucapan selamat dan pertanyaan dilontarkan kepada salah satu lulusan terbaik itu.
“Hai bro, selamat ya, lain kali ajak-ajak aku dong kalau naik panggung” ujar doni dengan ketawanya yang khas.
“iya ham, aku juga tambah kagum ma kamu” seolah tak mau kalah, sisil yang selama tiga tahun menyukai ilham pun ikut berkomentar.
“ha..ha..” dengan serentak teman-temanya mentertawakan sisil yang memang terkenal dengan kecentilannya.
“ah kalian sirik banget sih” sanggah sisil sembari memegangi rambutnya yang panjang.
Suasana kembali hangat seolah tak akan ada perpisahan di hari itu. Ilham sebagai objek pertanyaan terlihat begitu tenang dan berwibawa.
Diakhir perbincangan, gilang salah satu teman terdekat ilham bertanya “ham, nilai kamu kan tinggi, apa kamu akan mendaftar ke SMA favorit?”
Dengan senyumnya yang khas, Ilham menjawab “ tidak lang, aku mau ke pesantren saja”
“maksud kamu?” Gilang terkejut mendengarnya.
“nilai kamu besar ham, ngapain masuk pesantren?” potong Angga yang juga heran mendengarnya.
“teman-teman, pesantren adalah pilihanku sejak lama, bahkan sebelum aku masuk ke SMP pun pesantren telah menjadi pilihan, hanya saja kondisi saat itu membuatku mengurungkan niat” ungkap Ilham menjelaskan alasannya.
“ah kamu ham, mending masuk ke SMA negeri aja, kamu pasti diterima, secara nilaimu kan tinggi” ujar Erik yang juga menyayangkan keputusan Ilham.
“sudahlah, yang mau sekolah kan ilham, seharusnya kita mendukungnya. OK ” ujar Irsan teman sebangku Ilham.
“iya aku setuju, kita harus mendukungnya. Dan aku percaya sama kamu ham” bela Adi menghampiri Ilham.
”makasih teman-teman, doakan saja ya.. semoga aku sukses” ungkap Ilham menatap teman-temannya satu persatu.
Perbincanganpun berakhir, dan mereka saling berpelukan disertai haru yang menyelimuti. Kemudian kosonglah koridor kelas itu seiring dengan berpisahnya mereka.
                                                               *   *
Di rumah, ibu Ros seorang penjahit yang tiada lain adalah ibu kandung ilham, ia terperanjat dari mesin jahit ketika anaknya memanggil-manggil dirinya.
“ibu..ibu..aku bawa sesuatu bu” teriak Ilham memanggil ibunya.
”ada apa nak?, kamu ini membuat ibu kaget saja” Tanya ibu Ros menghampiri anaknya.
“ini bu..” Ilham memperlihatkan piagam yang ia bawa.
Dipegangnya piagam itu oleh ibu ros, air mata melintasi pipinya dan ia tatap dalam-dalam anaknya. Dan dengan nada pelan ia katakan ”ibu…ibu bangga padamu nak”.
 Lagi, kata-kata bangga itu terlontar dari orang yang ia cintai. Dan kini terlontar dari ibu kandungnya sendiri.
Ilham pun menatap balik ibunya dan mereka berpelukan.
Sementara mereka sedang larut dakam haru kebanggaan, pak Harun ayah kandung ilham tengah terbaring lemas karena sakitnya yang semakin parah.  Kemudian dihampirinya pak Harun oleh Ilham lalu ia peluk ayahnya yang sulit untuk berbicara itu.
 Pak harun telah hampir dua tahun menderita penyakit paru-paru. Beberapa kali beliau dirawat di rumah sakit, namun tak kunjung juga membaik. Ilham yang begitu dekat dengan ayahnya, kini hanya dapat menangis melihat keadaan ayahnya.
Dengan kondisi seperti itu, ilham bertekad ingin membanggakan ayahnya dengan prestasi dan cita-cita yang tinggi. Cita-cita mulia, cita-cita yang juga diharapkan oleh pak Harun yaitu menjadi pembaharu di tengah kondisi bangsa.
Keesokan harinya, tanpa menunda-nunda waktu, ilham bergegas mencari pesantren yang menjadi pilihannya. Walaupun ia hanya membawa secuil kertas yang berisikan alamat yang tak ia kenal, ilham tetap mencarinya bersama sepedanya yang ia pinjam dari saudaranya. Dengan penuh semangat ia mengayuh sepeda berkilo-kilo meter jauhnya. Di jalan, ketika perjalanan telah mencapai 6 km, tiba-tiba ban sepeda yang ia tumpangi meletus. Sungguh hal yang tidak pernah ia duga sebelumnya.
Dilihatnya isi saku yang ia bawa, ternyata ia hanya memiliki uang untuk mendaftar saja. Ia merasa sangat bingung, sejenak ia berfikir, dan akhirnya ia memutuskan untuk menyimpan dulu sepedanya di bengkel dan ia berjalan menuju pesantren.
Setapak demi setapak ia melangkah, ia tahu bahwa perjalanan masih 7 km lagi. Namun semangatnya tak pernah kendur. Terik matahari membuatnya terasa pusing, mengingat ia memang tengah berpuasa sunah. Namun itu bukanlah penghalang baginya.
Hingga akhirnya dari kejauhan ia lihat petunjuk bahwa Pesantren Al-Islam 84 hanya tinggal 500 m lagi. Melihat hal itu , semangatnya semakin terpacu, sehingga ia berlari menuju pesantren itu. Sesampainya di depan  gerbang pesantren, ia bersujud tanda syukur kepada Allah.
Saat itu, jarum jam menunjukan pukul 12:00. Maka ia pun menuju masjid pesantren untuk mendirikan shalat dzuhur. Dilihatnya sntri-santri berseragam rapi dan santriwati berjilbab begitu tertutup. Pemandanngan yang tak pernah ia lihat sebelumnya di sekolah-sekolah umum. Dalam hati ia berkata”subhanallah, aku langsung cinta pada pesantren ini”.
Seusai shalat, sedikit gugup ia alami saat menghadaPke kantor asatidz atau kantor guru bila di sekolahnya dulu. Masuklah ia ke dalam kantor, kemudian pembicaraan pun dimulai. Ilham yang tadi gugup, kini begitu antusias menceritakan tujuannya memilih pesantren dan perjuangannya hingga tiba di pesantren tersebut. Perbincangan terus berlangsung diantara mereka. Ust. Rahman memujinya, begitu pula asatidz lainnya. Namun kemudian ust.rahman berkata ” kami sangat menghargai niat dan tekad anda, namun mohon maaf kami tidak menerima lulusan selain dari tsanawiyah”
Mimik muka Ilham berubah, seolah tak percaya akan perkataan itu, ia menundukan pandangan.
“tapi tenang saja, kamu masih bisa menuntut ilmu di pesantren, namun bukan disini” ujar ust. Rahman menenangkan Ilham yang terlihat lesu.
 “ maksud ustadz? ” Tanya Ilham mengangkat kembali pandangannya.
“ kamu bisa sekolah di Pesantren Al-Islam 67 Benda Tasikmalaya, insyaallah disana menerima lulusan dari SMP. ” Papar ust. Rahman sembari meberikan alamatnya.
“ alhamdulillah..terima kasih banyak ustadz, hampir saja saya putus asa ” Ungkap Ilham yang begitu bersyukur mendengarnya.
Ilham pun menyalami satu persatu asatidz dan berpamitan kepada mereka.
“ assalamualaikum ” salam ilham seiring keluar dari ruangan kantor asatidz.
                                                                       *  *
Sabtu pagi, tepatnya dua hari sepulangnya dari Pesantren Al-Islam 84, Ilham menghancurkan tabungannya. Tabungan yang telah ia kumpulkan selama satu tahun. Kini akan ia gunakan untuk transport menuju pesantren yang berada di kota Tasikmalaya.
Ia berniat untuk berangkat pada sabtu malam. Sengaja ia memilih malam hari, karena ia tidak terbiasa dengan perjalanan siang. Kali ini ia pergi bersama luqman sahabatnya sejak kecil. Sabtu malam, sepulangnya dari masjid setelah mendirikan shalat isya, Ilham berpamitan kepada ibunya dan ia berangkat bersama Luqman.
Disaat lampu bundar berkelipan menyinari kemaksiatan malam dan para muda-mudi menghamburkan waktu memuaskan nafsunya, ilham justru tengah berjuang mencari ridho Allah. Sungguh, sesuatu perbedaan yang begitu mencolok dari kedua keadaan tersebut. Ya, remaja seperti ilham hanyalah minoritas di zaman modern ini.
Malam itu, Ilham dan Luqman mengendarai bus menuju kota Tasikmalaya, kota sejuta santri. Mereka begitu bersyukur dapat berangkat pada malam itu.
Malam yang semakin senyap, membuat mereka terlelap. Puluhan kilometer telah mereka lalui, dan sampailah mereka di Kabupaten Tasikmalaya. Namun mereka tak juga terbangun dari tidurnya. Sampai pada akhirnya seseorang bertopi hitam membangunkannya. Mereka bangun terperanjat karena kaget dan khawatir bila pesantren yang ia mereka tuju telah terlewat.
Dengan kantuk yang masih melekat, mereka hampiri supir bus dan bertanya kepadanya “ Pak, kalau Kecamatan Benda masih jauh tidak? ” Tanya Ilham yang penuh dengan cemas.
“maaf dek, tempat itu telah terlewat belasan kilometer tadi ” jawab pak supir.
“ apa? Terus bagaimana dengan kami pak? ” sahut Luqman yang begitu kaget mendengarnya.
“kalian turun saja disini, nanti tanyakan pada warga daerah sini” ujar Pak supir sembari memberhentikan kemudinya.
Akhirnya mereka pun diturunkan tepat di pangkalan ojeg depan mesjid yang telah terkunci. Mereka bengong saling pandang. Tak sepatah kata pun terucap. Kedua mata mereka seolah menangkap udara kosong. Seorang pria berjaket kulit menghampiri mereka. “ Dari mana dan mau kemana kalian? ” Tanya pria itu dengan ramah.
 “ Kami dari Bandung, dan akan ke Benda pak ” jawab Luqman.
 “oh mau ke Benda, saya bisa antar kalian kesana, ongkosnya Cuma 50.000 aja ” tawar pria yang ternyata tukang ojeg itu.
“50.000?” sahut Luqman yang kaget mendengarnya.
“ya sudah, kalau ga mau, tapi saya tidak menjamin kalian tidak akan tersasar di sini ”
“mohon maaf pak, tapi sebenarnya Kecamatan Benda itu ada dimana?”
“di Kabupaten Tasikmalaya belasan kilometer di belakang sana.”
“kabupaten ? tapi yang kami cari itu di kotamadya pak”
“oh, kecamtan Benda memang ada dua, dan kalau kalian cari yang di kotamadya, itu lebih jauh lagi. Karena sekarang ini kita berada di kabupatennya” papar tukang ojeg itu.
“baiklah pak, kami akan berjalan saja” ujar Ilham yang tak ragu memutuskan untuk berjalan kaki.
“ apa? Kota tasik itu masih jauh dek ” sahut tukang ojeg yang terheran-heran mendengar perkataan ilham.
“tidak apa pak, kami harus berjuang meskipun jauh”
“luar biasa, ya sudah hati-hati di jalan ya..”
“iya pak, terima kasih’ ucap Ilham dan Luqman berlalu meninggalkan pangkalan ojeg itu.
Gelap malam tu telah manunjukan pukul 00:00, mereka berjalan menelusuri jalanan. Lelah dan kantuk mereka rasakan. Belasan kilometer sudah mereka lalui, dan sampailah mereka di perbatasan antara Kabupaten dan Kotamadya Tasik. Sejenak mereka beristirahat, dilihatnya oleh mereka terdapat warung yang masih buka. Kemudian mereka hampiri warung itu. Namun tak ada satu pun orang  yang menjaga warung itu. Padahal Luqman hendak membeli obat karena sakit maghnya kambuh dan kakinya berdarah karena lecet. Ilham yang tak tega melihat keadaan sahabatnya, kemudian menggendong Luqman. Perjalanan kembali dilanjutkan. Asma allah terus Ilham lantunkan sembari menahan beratnya beban perjalanan karena menggendong sahabatnya. “ langkah ini untuk ayahku…langkah ini untuk ayahku…” berulang-ulang ia katakan kata-kata itu didalam hati. Akhirnya di ujung jalan, ia lihat bangunan kokoh berwarna hijau bertuliskan “ Pesantren Al-Islam 67 Benda Tasikmalaya”.
Betapa bahagianya Ilham ketika pesantren yang ia cari telah tampak di depan mata. Adzan shubuh menjadi akhir dari pencarian mereka. Namun mereka tak bisa langsung memasuki pesantren karena gerbangnya yang masih terkunci. Mereka pun shalat di masjid depan pesantren. Dzikir terucap dari bibir mereka, rasa syukur telah menghapus kelelahan yang ada. Ilham tak henti bersyukur dan mendoakan ayahnya yang kini tengah terbaring lemas di rumahnya. Namun tiba-tiba saja nada handphone milik luqman menjerit tanda sms dari bibi Ilham.
“ innalillahi wainnailaihi roji’un, semoga allah memberikan kesabaran terhadapmu ham. Ayahmu meninggal dunia. Ayahmu berpesan kalau kamu mesti melanjutkan terus langkah perjuanganmu.”
Pandangannya kosong, seolah tak percaya, pecahlah tangisan itu dari matanya. Tubuhnya roboh pada penjuru masjid. Ia benar-benar hancur melebur bersama kesedihannya. Ia peluk luqman dan dengan terbata-bata ia berkata “ sahabat, kau tahu mengapa aku rela berjuang menuju pesanntren ini? Semua itu untuk ayahku, langkah-langkah ini untuk kebanggaan ayahku. Tapi kini ia telah tiada, ia telah pergi meninggalkanku.”
Luqman mencoba terus menenagkannya, namun Ilham telah benar-benar hanyut dalam kesedihan. Dan akhirnya mereka pun kembali ke Bandung setelah mengunjungi pesantren dengan waktu yang benar-benar sedikit.
Meski ayahnya telah meninggal, namun langkah perjuangan ilham tak lantas terkubur oleh rasa putus asa. Semenjak kejadian itu, ilham selalu menjadikan pesan terakhir dari ayahnya sebagai motivasi. Dan kini ia terus melangkahkan perjuangan demi satu makna yang bernama mimpi, dan satu tujuan yaitu sukses.
                                                 *  *