Rabu, 17 November 2010

Langkah untuk sang Ayah

Oleh : Ibnu Jadid (Hilman Indrawan)

Siang itu, gemuruh suara drum aksi dari eskul marching band mengiringi sepuluh lulusan berprestasi. Ilham, seorang anak sederhana menjadi salah satu diantaranya. Dengan tegapnya ilham bersama teman lainnya melangkah perlahan menuju panggung penghargaan. Iringan marching band dan atraksi dari mayoret membuat mereka tersanjung. Satu persatu nama-nama mereka bergema diantara lebih dari seribu siswa SMP saat itu. Tak sedikit air mata kebanggan menetes dari orang tua atas prestasi anak mereka. Tak ketinggalan pula haru biru dari para siswa larut dalam suasana perpisahan itu.
“kejar terus prestasimu nak, ibu bangga padamu.” Bisik seorang guru pada ilham.
“Terima kasih bu.” Balas ilham menahan haru.
Dilihatnya dari atas panggung, sahabat-sahabat tercinta tersenyum lebar sembari mengangkat kedua jempol tanda rasa bangga. Seketika ia tertunduk, ia menyadari bahwa perpisahan diambang waktu.
Ia turun menghampiri sahabat-sahabatnya, jabat tangan dan peluk hangat menjadi akhir dari acara perpisahan itu.
Setelah acara penutupan selesai, seluruh siswa bergegas pulang. Namun ada yang berbeda pada koridor kelas IX A. Ilham dan teman-teman sekelasnya berkumpul sejenak. Berbagai ucapan selamat dan pertanyaan dilontarkan kepada salah satu lulusan terbaik itu.
“Hai bro, selamat ya, lain kali ajak-ajak aku dong kalau naik panggung” ujar doni dengan ketawanya yang khas.
“iya ham, aku juga tambah kagum ma kamu” seolah tak mau kalah, sisil yang selama tiga tahun menyukai ilham pun ikut berkomentar.
“ha..ha..” dengan serentak teman-temanya mentertawakan sisil yang memang terkenal dengan kecentilannya.
“ah kalian sirik banget sih” sanggah sisil sembari memegangi rambutnya yang panjang.
Suasana kembali hangat seolah tak akan ada perpisahan di hari itu. Ilham sebagai objek pertanyaan terlihat begitu tenang dan berwibawa.
Diakhir perbincangan, gilang salah satu teman terdekat ilham bertanya “ham, nilai kamu kan tinggi, apa kamu akan mendaftar ke SMA favorit?”
Dengan senyumnya yang khas, Ilham menjawab “ tidak lang, aku mau ke pesantren saja”
“maksud kamu?” Gilang terkejut mendengarnya.
“nilai kamu besar ham, ngapain masuk pesantren?” potong Angga yang juga heran mendengarnya.
“teman-teman, pesantren adalah pilihanku sejak lama, bahkan sebelum aku masuk ke SMP pun pesantren telah menjadi pilihan, hanya saja kondisi saat itu membuatku mengurungkan niat” ungkap Ilham menjelaskan alasannya.
“ah kamu ham, mending masuk ke SMA negeri aja, kamu pasti diterima, secara nilaimu kan tinggi” ujar Erik yang juga menyayangkan keputusan Ilham.
“sudahlah, yang mau sekolah kan ilham, seharusnya kita mendukungnya. OK ” ujar Irsan teman sebangku Ilham.
“iya aku setuju, kita harus mendukungnya. Dan aku percaya sama kamu ham” bela Adi menghampiri Ilham.
”makasih teman-teman, doakan saja ya.. semoga aku sukses” ungkap Ilham menatap teman-temannya satu persatu.
Perbincanganpun berakhir, dan mereka saling berpelukan disertai haru yang menyelimuti. Kemudian kosonglah koridor kelas itu seiring dengan berpisahnya mereka.
                                                               *   *
Di rumah, ibu Ros seorang penjahit yang tiada lain adalah ibu kandung ilham, ia terperanjat dari mesin jahit ketika anaknya memanggil-manggil dirinya.
“ibu..ibu..aku bawa sesuatu bu” teriak Ilham memanggil ibunya.
”ada apa nak?, kamu ini membuat ibu kaget saja” Tanya ibu Ros menghampiri anaknya.
“ini bu..” Ilham memperlihatkan piagam yang ia bawa.
Dipegangnya piagam itu oleh ibu ros, air mata melintasi pipinya dan ia tatap dalam-dalam anaknya. Dan dengan nada pelan ia katakan ”ibu…ibu bangga padamu nak”.
 Lagi, kata-kata bangga itu terlontar dari orang yang ia cintai. Dan kini terlontar dari ibu kandungnya sendiri.
Ilham pun menatap balik ibunya dan mereka berpelukan.
Sementara mereka sedang larut dakam haru kebanggaan, pak Harun ayah kandung ilham tengah terbaring lemas karena sakitnya yang semakin parah.  Kemudian dihampirinya pak Harun oleh Ilham lalu ia peluk ayahnya yang sulit untuk berbicara itu.
 Pak harun telah hampir dua tahun menderita penyakit paru-paru. Beberapa kali beliau dirawat di rumah sakit, namun tak kunjung juga membaik. Ilham yang begitu dekat dengan ayahnya, kini hanya dapat menangis melihat keadaan ayahnya.
Dengan kondisi seperti itu, ilham bertekad ingin membanggakan ayahnya dengan prestasi dan cita-cita yang tinggi. Cita-cita mulia, cita-cita yang juga diharapkan oleh pak Harun yaitu menjadi pembaharu di tengah kondisi bangsa.
Keesokan harinya, tanpa menunda-nunda waktu, ilham bergegas mencari pesantren yang menjadi pilihannya. Walaupun ia hanya membawa secuil kertas yang berisikan alamat yang tak ia kenal, ilham tetap mencarinya bersama sepedanya yang ia pinjam dari saudaranya. Dengan penuh semangat ia mengayuh sepeda berkilo-kilo meter jauhnya. Di jalan, ketika perjalanan telah mencapai 6 km, tiba-tiba ban sepeda yang ia tumpangi meletus. Sungguh hal yang tidak pernah ia duga sebelumnya.
Dilihatnya isi saku yang ia bawa, ternyata ia hanya memiliki uang untuk mendaftar saja. Ia merasa sangat bingung, sejenak ia berfikir, dan akhirnya ia memutuskan untuk menyimpan dulu sepedanya di bengkel dan ia berjalan menuju pesantren.
Setapak demi setapak ia melangkah, ia tahu bahwa perjalanan masih 7 km lagi. Namun semangatnya tak pernah kendur. Terik matahari membuatnya terasa pusing, mengingat ia memang tengah berpuasa sunah. Namun itu bukanlah penghalang baginya.
Hingga akhirnya dari kejauhan ia lihat petunjuk bahwa Pesantren Al-Islam 84 hanya tinggal 500 m lagi. Melihat hal itu , semangatnya semakin terpacu, sehingga ia berlari menuju pesantren itu. Sesampainya di depan  gerbang pesantren, ia bersujud tanda syukur kepada Allah.
Saat itu, jarum jam menunjukan pukul 12:00. Maka ia pun menuju masjid pesantren untuk mendirikan shalat dzuhur. Dilihatnya sntri-santri berseragam rapi dan santriwati berjilbab begitu tertutup. Pemandanngan yang tak pernah ia lihat sebelumnya di sekolah-sekolah umum. Dalam hati ia berkata”subhanallah, aku langsung cinta pada pesantren ini”.
Seusai shalat, sedikit gugup ia alami saat menghadaPke kantor asatidz atau kantor guru bila di sekolahnya dulu. Masuklah ia ke dalam kantor, kemudian pembicaraan pun dimulai. Ilham yang tadi gugup, kini begitu antusias menceritakan tujuannya memilih pesantren dan perjuangannya hingga tiba di pesantren tersebut. Perbincangan terus berlangsung diantara mereka. Ust. Rahman memujinya, begitu pula asatidz lainnya. Namun kemudian ust.rahman berkata ” kami sangat menghargai niat dan tekad anda, namun mohon maaf kami tidak menerima lulusan selain dari tsanawiyah”
Mimik muka Ilham berubah, seolah tak percaya akan perkataan itu, ia menundukan pandangan.
“tapi tenang saja, kamu masih bisa menuntut ilmu di pesantren, namun bukan disini” ujar ust. Rahman menenangkan Ilham yang terlihat lesu.
 “ maksud ustadz? ” Tanya Ilham mengangkat kembali pandangannya.
“ kamu bisa sekolah di Pesantren Al-Islam 67 Benda Tasikmalaya, insyaallah disana menerima lulusan dari SMP. ” Papar ust. Rahman sembari meberikan alamatnya.
“ alhamdulillah..terima kasih banyak ustadz, hampir saja saya putus asa ” Ungkap Ilham yang begitu bersyukur mendengarnya.
Ilham pun menyalami satu persatu asatidz dan berpamitan kepada mereka.
“ assalamualaikum ” salam ilham seiring keluar dari ruangan kantor asatidz.
                                                                       *  *
Sabtu pagi, tepatnya dua hari sepulangnya dari Pesantren Al-Islam 84, Ilham menghancurkan tabungannya. Tabungan yang telah ia kumpulkan selama satu tahun. Kini akan ia gunakan untuk transport menuju pesantren yang berada di kota Tasikmalaya.
Ia berniat untuk berangkat pada sabtu malam. Sengaja ia memilih malam hari, karena ia tidak terbiasa dengan perjalanan siang. Kali ini ia pergi bersama luqman sahabatnya sejak kecil. Sabtu malam, sepulangnya dari masjid setelah mendirikan shalat isya, Ilham berpamitan kepada ibunya dan ia berangkat bersama Luqman.
Disaat lampu bundar berkelipan menyinari kemaksiatan malam dan para muda-mudi menghamburkan waktu memuaskan nafsunya, ilham justru tengah berjuang mencari ridho Allah. Sungguh, sesuatu perbedaan yang begitu mencolok dari kedua keadaan tersebut. Ya, remaja seperti ilham hanyalah minoritas di zaman modern ini.
Malam itu, Ilham dan Luqman mengendarai bus menuju kota Tasikmalaya, kota sejuta santri. Mereka begitu bersyukur dapat berangkat pada malam itu.
Malam yang semakin senyap, membuat mereka terlelap. Puluhan kilometer telah mereka lalui, dan sampailah mereka di Kabupaten Tasikmalaya. Namun mereka tak juga terbangun dari tidurnya. Sampai pada akhirnya seseorang bertopi hitam membangunkannya. Mereka bangun terperanjat karena kaget dan khawatir bila pesantren yang ia mereka tuju telah terlewat.
Dengan kantuk yang masih melekat, mereka hampiri supir bus dan bertanya kepadanya “ Pak, kalau Kecamatan Benda masih jauh tidak? ” Tanya Ilham yang penuh dengan cemas.
“maaf dek, tempat itu telah terlewat belasan kilometer tadi ” jawab pak supir.
“ apa? Terus bagaimana dengan kami pak? ” sahut Luqman yang begitu kaget mendengarnya.
“kalian turun saja disini, nanti tanyakan pada warga daerah sini” ujar Pak supir sembari memberhentikan kemudinya.
Akhirnya mereka pun diturunkan tepat di pangkalan ojeg depan mesjid yang telah terkunci. Mereka bengong saling pandang. Tak sepatah kata pun terucap. Kedua mata mereka seolah menangkap udara kosong. Seorang pria berjaket kulit menghampiri mereka. “ Dari mana dan mau kemana kalian? ” Tanya pria itu dengan ramah.
 “ Kami dari Bandung, dan akan ke Benda pak ” jawab Luqman.
 “oh mau ke Benda, saya bisa antar kalian kesana, ongkosnya Cuma 50.000 aja ” tawar pria yang ternyata tukang ojeg itu.
“50.000?” sahut Luqman yang kaget mendengarnya.
“ya sudah, kalau ga mau, tapi saya tidak menjamin kalian tidak akan tersasar di sini ”
“mohon maaf pak, tapi sebenarnya Kecamatan Benda itu ada dimana?”
“di Kabupaten Tasikmalaya belasan kilometer di belakang sana.”
“kabupaten ? tapi yang kami cari itu di kotamadya pak”
“oh, kecamtan Benda memang ada dua, dan kalau kalian cari yang di kotamadya, itu lebih jauh lagi. Karena sekarang ini kita berada di kabupatennya” papar tukang ojeg itu.
“baiklah pak, kami akan berjalan saja” ujar Ilham yang tak ragu memutuskan untuk berjalan kaki.
“ apa? Kota tasik itu masih jauh dek ” sahut tukang ojeg yang terheran-heran mendengar perkataan ilham.
“tidak apa pak, kami harus berjuang meskipun jauh”
“luar biasa, ya sudah hati-hati di jalan ya..”
“iya pak, terima kasih’ ucap Ilham dan Luqman berlalu meninggalkan pangkalan ojeg itu.
Gelap malam tu telah manunjukan pukul 00:00, mereka berjalan menelusuri jalanan. Lelah dan kantuk mereka rasakan. Belasan kilometer sudah mereka lalui, dan sampailah mereka di perbatasan antara Kabupaten dan Kotamadya Tasik. Sejenak mereka beristirahat, dilihatnya oleh mereka terdapat warung yang masih buka. Kemudian mereka hampiri warung itu. Namun tak ada satu pun orang  yang menjaga warung itu. Padahal Luqman hendak membeli obat karena sakit maghnya kambuh dan kakinya berdarah karena lecet. Ilham yang tak tega melihat keadaan sahabatnya, kemudian menggendong Luqman. Perjalanan kembali dilanjutkan. Asma allah terus Ilham lantunkan sembari menahan beratnya beban perjalanan karena menggendong sahabatnya. “ langkah ini untuk ayahku…langkah ini untuk ayahku…” berulang-ulang ia katakan kata-kata itu didalam hati. Akhirnya di ujung jalan, ia lihat bangunan kokoh berwarna hijau bertuliskan “ Pesantren Al-Islam 67 Benda Tasikmalaya”.
Betapa bahagianya Ilham ketika pesantren yang ia cari telah tampak di depan mata. Adzan shubuh menjadi akhir dari pencarian mereka. Namun mereka tak bisa langsung memasuki pesantren karena gerbangnya yang masih terkunci. Mereka pun shalat di masjid depan pesantren. Dzikir terucap dari bibir mereka, rasa syukur telah menghapus kelelahan yang ada. Ilham tak henti bersyukur dan mendoakan ayahnya yang kini tengah terbaring lemas di rumahnya. Namun tiba-tiba saja nada handphone milik luqman menjerit tanda sms dari bibi Ilham.
“ innalillahi wainnailaihi roji’un, semoga allah memberikan kesabaran terhadapmu ham. Ayahmu meninggal dunia. Ayahmu berpesan kalau kamu mesti melanjutkan terus langkah perjuanganmu.”
Pandangannya kosong, seolah tak percaya, pecahlah tangisan itu dari matanya. Tubuhnya roboh pada penjuru masjid. Ia benar-benar hancur melebur bersama kesedihannya. Ia peluk luqman dan dengan terbata-bata ia berkata “ sahabat, kau tahu mengapa aku rela berjuang menuju pesanntren ini? Semua itu untuk ayahku, langkah-langkah ini untuk kebanggaan ayahku. Tapi kini ia telah tiada, ia telah pergi meninggalkanku.”
Luqman mencoba terus menenagkannya, namun Ilham telah benar-benar hanyut dalam kesedihan. Dan akhirnya mereka pun kembali ke Bandung setelah mengunjungi pesantren dengan waktu yang benar-benar sedikit.
Meski ayahnya telah meninggal, namun langkah perjuangan ilham tak lantas terkubur oleh rasa putus asa. Semenjak kejadian itu, ilham selalu menjadikan pesan terakhir dari ayahnya sebagai motivasi. Dan kini ia terus melangkahkan perjuangan demi satu makna yang bernama mimpi, dan satu tujuan yaitu sukses.
                                                 *  *

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar