Minggu, 24 Oktober 2010

nitip hula IKAPPIL


PROFIL


NAMA                              : IKAPPIL (ikatan alumni pesantern persatuan islam lebakwangi)
SEBUTAN ANGGOTA : PILOVER’S
BERDIRI                         : 16 juli 2010
ALAMAT SEKR.           : Gd.Pesantren Persis Lebakwangi Rt 02/02 Ds. Lebakwangi kec. 
                                          Arjasari kab. Bandung
VISI                                  : Menjadikan IKAPPIL sebagai ikatan alumni yang kembali   
                                           terikat Dengan pesantren dan siap untuk mengabdi.
MISI                                : Memberikan kontribusi dalam mendukung tujuan PPI
                             Lebakwangi dalam menciptakan generasi qur’ani yang kreatif dan
      kompetitif.
TUJUAN PERSONAL  :Mencari jati diri sebagai muslim sejati dengan jihad fi sabilillah.
MOTTO/SLOGAN        : “Be a the true moslem











PROGRAM
TARBIYAH
-         Mengadakan forum bagi anggota IKAPPIL yaitu forum diskusi dan sharing yang bekerjasama dengan narasumber dari eksternal anggota.
-         Mengadakan pembinaan bagi anggota berupa training, dan debating club yang akan bekerjasama dengan pemateri dan pengisi acara dari eksternal anggota
-         Mendukung eskul eskul kependidikan yang terdapat dalam POTASKI dengan ikut serta dalam pembinaan.
SOSIAL
-         Membuat komunitas sosial yaitu APAL(Aksi Peduli Alumni Lebakwangi), yang akan bertugas dalam bidang kesosialan baik internal maupun eksternal.
-         Kerjasama kesosialan eksternal dengan komunitas lain, seperti Palang Merah, Santri Husada dll.
KADERISASI
-         Mengadakan pengkaderan atau pembinaan bagi santri dalam mengembangkan potensi , talent dan skill yang terbentuk dalam POTASKI(potensi, talent, n skill).
PUBLIKASI
-         Mengkomunikasikan dan menginformasikan hal-hal yang perlu dikabarkan kepada seluruh anggota.
-         Mendokumentasikan kegiatan melalui media.

Sabtu, 16 Oktober 2010

PENGEMIS BERSERAGAM

oleh : Hilman Indrawan
Pengemis merupakan "wajah" dari masalah sosial yang dikarenakan rendahnya ekonomi. tingkat kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi, tidak seimbang dengan pemenuhannya. sehingga hal ini yang menjadi salah satu faktor adanya pemecahan masalah oleh masyarakat yang tidak lagi notmatif.

            Pengemis di Indonesia, sering kita lihat di jalan-jalan raya, mereka rela berpanas-panasan hanya sekedar mengemis uang yang sedikit. rasa malu sudah tidak lagi dihiraukan, meskipun terkadang banyak orang yang mencibir dan menghinanya. dari kenyataan tersebut, penulis melihat dari ciri-cirinya, ternyata selain pengemis yang berbaju compang-camping, ada pula pengemis yang berpenampilan rapi, tegap, dan berseragam. siapakah pengemis berseragam itu ?

Bukanlah justifikasi yang salah, bila kita menjawab bahwa pengemis berseragam itu adalah oknum polantas. Dengan cirri-ciri yang sama namun berbeda cara, para oknum polantas elah menunjukan “kepengemisannya” dibalik kewibawaan seragam yang mereka gunakan. Mereka bersembunyi di belakang hokum dengan mengatasnamakan undang-undang sebagai penutup dari ‘aksinya’.
Keadilan telah buta ketika rupiah nampak pada mata yang telah buta pula. Kewajiban menegakan keadilan berubah menjadi menyemarakan kebohongan. Sangat ironis, gaji polantas yang tidak sedikit masih saja membuat mereka tidak puas. Masyarakat yang melanggar peraturan menjadi sasaran pendustaan hokum. Semakin sering mereka melakukan hal itu, semakin mereka mempertegas bahwa mereka hanyalah aparat ‘penjilat’, bukan aparat pelindung masyarakat.
Tidakka mereka berfikir tentang kemajuan bangsa ini? Jawabannya sudah jelas, bahwa dengan apa yang mereka lakukan, itu menunjukan tak ada sedikitpun mereka berfikir ke arah kemajuan.
Problematika mengenai KKN memang seolah mustahil untuk dibasmi di negeri yang masih banyak kalangan yang menganggap korupsi, kolusi dan nepotisme adalah suatu hal yang biasa. Seperti halnya yang dilakukan oleh para oknum polisi tersebut, mereka menjadi pengemis yang ‘gagah’ dengan kewenangan dan kekuasaanya. Dengan realita diatas, bisa kita simpulkan bahwa justru mereka sendiri sebagai para pengadil yang mesti diadili. Dan dengan adanya masalah tersebut, secara tidak langsung mereka telah menyebarkan ‘budaya’ KKN pada masyarakat, sehingga KKN akan benar-benar menjadi “seni budaya ” pendustaan hokum di Indonesia.  

Keadilan Teradil

Oleh : Hilman Indrawan 
Sebuah bukti keadilan Allah Swt dari Surat 99 Al-zalzalah: 7-8, bahwa perbuatan apapun yang dilakukan manusia, baik keburukan yang sedikit, atau kebaikan yang sedikit, keduanya itu mempunyai konsekuensi hukum. Sehingga manusia akan senantiasa memperhatikan apa yang akan ia perbuat dengan konsekuensi yang akan ia terima. Kemudian petunjuk bagi manusia untuk tidak meremehkan dosa kecil. Asbabun nuzul dari ayat tersebut merupakan bantahan dari anggapan sebagian kaum muslim, yang beranggapan bahwa dosa kecil, seperti berbohong, mengumpat, dan lain sebagainya, tidak akan mendapat siksa. Dan inilah konsep keadilan yang menunjukan bahwa orang yang melakukan perbuatan dosa kecil dan besar adalah sama-sama akan mendapat ancaman neraka. Namun tingkatan dosanya lah yang akan membedakan timbangan hisab oleh Allah Swt.
            Demikian juga hal diatas dikuatkan dalam hadist seperti dibawah ini;Dari Anas r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan (Laa Ilaaha Illallah) dan di dalam hatinya ada seberat biji dari kebaikan (iman)." (HR Bukhari 44 dan Muslim 193)
            Hadist ini telah mengatakan bahwa manusia nantinya akan dikeluarkan dari neraka setelah mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dan juga karena didalam hatinya telah ada seberat biji kebaikan (amal dan iman) ketika masa hidupnya di dunia.
            Dalam ayat lain pula, Allah berfirman yang bermaksud: "Dan Kami akan mengadakan timbangan yang adil pada hari kiamat. Oleh itu, maka tidak ada seseorang yang akan teraniaya barang sedikit pun, walau amalannya seberat biji sawi, Kami tetap menghitungnya, dan cukuplah Kami menjadi penghitung". (Surah Al-Anbiya' ayat 47).
Maka dengan keterangan tersebut, telah kita ketahui bahwa kaitan asbabun nuzul terhadap ayat tersebut memiliki korelasi yang mengandung faedah bagi manusia mengenai keadilan Allah Swt.














Jumat, 08 Oktober 2010

Pendidikan Islam “Kelas Dua” di Negeri Mayoritas Muslim?

Pendidikan Islam “Kelas Dua” di Negeri Mayoritas Muslim?
oleh : Hilman Indrawan
Jika timbul pertanyaan tentang pengertian pendidikan islam, maka akan beragam jawaban yang muncul, namun yang menjadi substansi dari pendidikan islam adalah berbeda dengan pendidikan umum yaitu konsep yang mengarah pada komitmen terhadap Allah S.w.t sebagai upaya membawa manusia kepada eksistensinya sebagai makhluk_Nya. Pada perkembanganya, pendidikan islam telah tersebar di berbagai penjuru dunia dan tidak terkecuali Indonesia sebagai negara yang mayoritas muslim terbanyak di dunia.
Perkembangan pendidikan islam di Indonesia yang diawali dari madrasah atau pengajian yang ada di masjid-masjid kecil hingga kini telah banyak berdiri perguruan tinggi islam, tentu saja tidak terlepas dari para tokoh sebagai para pemikir dan perintisnya, dan pendidikan islam pun selalu memberikan kontribusi yang berarti pada negara dalam hal moral value, sehingga mencerdaskan pelajarnya baik spritual, emosional, maupun intelektual.  Namun kini timbul pertanyaan sederhana tentang keberadaan lembaga pendidikan islam di negeriyang mayoritas muslim ini, apakah pendidikan islam yang berperan bukan hanya “mencerdaskan” bangsa namun lebih dari itu menempati posisi pertama sebagai kiblat pendidikan di Indonesia atau bahkan menjadi “kelas dua” setelah pendidikan umum ?
Fakta yang berkembang pada masyarakat ternyata pendidikan islam memang bukan pilihan pertama. Pada umumnya pandangan yang berkembang tentang pendidikan islam adalah mereka menganggap output lulusannya hanya menjadi seorang ustadz atau da’i yang tidak mampu bersaing dalam kesejahteraan di dunia. Pandangan tersebut muncul tentu saja beralasan seiringdengan system pasda lembaga pendidikan islam yang ada.
Ada apa dengan pendidikan islam kita ? sebuah tanda Tanya besar yang dalam hal ini ditujukan kepada lembaganya bukan pada pendidikan islam itu sendiri, karena pada dasarnya tidak ada yang salah dengan apapun yang berhubungan dengan islam begitu pula dalam bidang pendidikannya, karena islam adalah agama yang telah disempurnakan oleh Allah S.w.t. namun yang perlu dipermasalahkan adalah para penganutnya, apakah mampu menegaskan wajah islam sebagai Rahmatan lil alamin  dengan pendidikan islam sebagai penerangnya atau bahkan semakin membuat pendidikan islam semakin dipandang sebelah mata ?
Masalah klasik yang masih tetap aktual mengenai system pendidikan islam yang ada di Indonesia adalah adanya dikotomi sistem pendidikan, sehingga tidak adanya keseimbangan antara ilmu dunia dan ukhrawi. Islamisasi ilmu dan teknologi dianggap tidak relevan dengan pendidikan islam bagi banyak lembaga dan ulama, seperti halnya yang dikatakan oleh seorang guru besar Universitas Sorbone Perancis yaitu Prof Dr. Muhammad Arkoun yaitu bahwa merupakan kesalahan bila ada keinginan dari cendikiawan muslim untuk melakukan islamisasi ilmu dan teknologi, sebab hal ini dapat menjebak kita pada pendekatan menganggap islam hanya semata-mata sebagai ideologi.
Sejauh ini selama masih adanya permasalahan klasik tersebut maka pesantren pun yang nota bene sebagai lembaga pendidikan yang didayagunakan atas swadaya murni masyarakat selalu dianggap hanya berorientasi pada akhirat semata, padahal kini banyak pesantren modern yang mengintregasikan ilmu umum dan ilmu agama islam. Namun inilah realitasnya, bahwa minoritas tidak mampu merubah pandangan masyarakat awsam yang telah “menetap” sejak lama.
Memang terasa janggal, dalam suatu komunitas masyarakat muslim, pendidikan islam tidak diberi kesempatan untuk bersaing dalam membangun umat yang besar ini. Perhatian pemerintah pada pendidikan islam sangatlah kecil porsinya dan terkesan ‘dianaktirikan’, padahal masyarakat Indonesia selalu diharapkan berada dalam lingkaran masyarakat sosialistis religious. Dan bahkan tidaklah salah jika dikatakan bahwa pendidikan islam di Indonesia justru menempati “kelas dua” di Negara yang mayoritas muslim.
Sebuah pembaharuan sangat diperlukan dalam masalah masalah ini, dan dalam hal ini Alquran dan Hadits sebagai sumber utama adalah solusi dari segala solusi ketika adanya pro kontra diantara umat. Ada enambelas ayat dalam Alquran yang menyebutkan tentang ulul albab, dimana intisari dari ulul albab itu adalah orang yang mampu mengambil hikmah dengan ilmu tentang seluruh apa yang ada di langit atau dalam artian sederhana yaitu tafakur dan tasyakur.
Abdus Salam, seorang muslim pemenang nobel, berkat teori unifikasi(penyatuan) gaya yang disusunnya, berkata “Alquran mengajarkan kepada kita dua hal ; tafakur dan tasyakur.tafakur adalah merenungkan ciptaan Allh di langit dan dibumi, kemudian menangkap hukum-hukum yang terdapat di alam semesta. Tafakur inilah yang seklrang disebut science. Tasyakur ialah memanfaatkan nikmat Allah dengan menggunakan akal fikiran sehingga kenikmtan itu makin bertambah, dalam istilah modern, tasyakur disebut teknologi. Ulul albab merenungkan ciptaan Allah di langit dan di bumi, dan sehingga karunia Allah ini dilipatgandakan nikmatnya.” Dan sesungguhnya di dalam diri ulul albab berpadu sifat-sifat ilmuwan, sifat-sifat intelektual, dan sifat-sifat yang mendekatkan diri pada Allah S.w.t.
Jika hal ini mampu direspon dan tentu saja yang paling penting adalah adanya realisasi yang merata sehingga pendidikan islam di Indonesia menjadi kiblat bagi masyarakat. Dan yang perlu kita yakini sebagai ‘actor pendidikan islam adalah bahwa revolusi yang kita lakukan terhadap pendidikan islam semata-mata karena mengharap ridho Allah S.w.t. wallahu alam bishowwab
  


Jumat, 01 Oktober 2010

Ketika Legalitas Menjadi Prioritas

Ketika Legalitas Menjadi Prioritas
Oleh : Hilman Indrawan
 Pendidikan merupakan elemen terpenting bagi kehidupan manusia sebagai proses dalam pembentukan karakter yaitu pengembangan intelektual, kontrol emosional, dan penguatan spiritual. Dari pernyataan atau definisi tersebut mari kita selaraskan dengan fakta pendidikan yang ada di Indonesia, apakah pendidikan negeri kita secara umum telah memenuhi tiga aspek penting tersebut atau bahkan pendidikan hanya dijadikan sebagai formalitas belaka ? 
Hal terpenting untuk menjawab "tanda tanya" tersebut ialah memahami secara mendasar tujuan masyarakat pada umumnya dengan melihat aplikasi dari pendidikan itu sendiri dan menganalisa fakta yang berkembang secara global. Telah kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara ke-4 yang memiliki kepadatan penduduk terbanyak di dunia setelah China, India, dan AS. Dengan jumlah 238.315.176 jiwa, Indonesia memiliki kesempatan lebih besar dari negara-negara lain untuk menjadi negara yang maju dalam pendidikan baik secara kuantitas maupun kualitas. Namun ironisnya, bila melihat fakta yang berkembang dalam satu dasawarsa terakhir ini ternyata Indonesia jauh dari apa yang diharapkan. Pada tahun 2000 hasil penelitian program pebangunan PBB (UNDP) menunjukan kualitas SDM Indonesia berada pada urutan 109 dari 174 negara, jauh dibanding dengan tetangga Singapura (24), Malaysia (61), Thailand (76), dan Fhilipina (77), pada tahun 2001 berdasarkan data hasil penelitian di Singapura sistem pendidikan Indonesia menempati urutan 12 dari 12 negara yang Asia bahkan lebih rendah dari Vietnam. kemudian pada tahun 2002, hasil survey World Competitiveness Year Book, indonesia menempati peringkat 53 dari 55 negara yang disurvey.
Problematika yang terjadi pada pendidikan kita saat ini diindikasikan karna adanya kesalahan dari hal yang mendasar seperti halnya cara pandang masyarakat tentang tujuan pendidikan yang menganggap bahwa legalitas akademik menjadi prioritas utama dalam dunia pendidikan. Ini merupakan degradasi persepsi yang menjadi kontradiktif dengan tujuan pendidikan yang substantif. Ketika legalitas menjadi prioritas utama dalam tujuan pendidikan suatu lembaga atau personal maka terlahirlah suatu sistem atau model pendidikan yang tidak lagi normatif. Ada beberapa kekeliruan terjadi yang disebabkan oleh pandangan tersebut, sebagai berikut :  pertama, kuantitas lulusan diprioritaskan bukan kualitas lulusan. banyak lulusan tidak bekualitas semakin tidak berkualitas karna pendidikan yang belum sampai pada titik tujuan namun sudah diluluskan sehingga akhirnya banyak sarjana pengangguran, lulusan sekolah kejuruan yang tidak lagi menjurus ketika berada pada masyarakat dan pada akhirnya pendidikan yang selama ia lakoni tak ada lagi artinya, tidak sedikit lulusan madrasah yang bermoral buruk karna hasil dari madrasahnya hanya sekedar ijazah pesantren, dan masih banyak lagi contoh-contoh yang berkembang pada realitas para pelajar atau pelaku pendidikan pada umumnya yang masih memegang teguh budaya formalitas.
Kedua, terkesan menciptakan para pekerja, bukan para pemikir. suatu penodaan dalam pendidikan ketika istilah-istilah industri meracuni istilah intelektual, ini merupakan sesuatu yang telah membumi di negeri ini dan pemerintah pun seolah mendalanginya sehingga lembaga dan masyarakat menjadi wayang intelektual yang dituntut untuk memproduksi para pekerja yang lahir dari lembaga-lembaga pendidikan.
Hal ini menyebabkan pergeseran tujuan dasar pendidikan yang semestinya melahirkan para pemikir yang mampu mengkondisikan hidup dengan kemampuan intelektualnya bukan semata-mata untuk menjadi pekerja. Logikanya, seorang pelajar yang diproduksi sebagai pelajar belum tentu ia seorang pemikir, namun seorang pemikir akan memungkinkan dirinya menjadi pekerja yang dibutuhkan karena kemampuan yang dimilikinya. Dan perlu diketahui bahwa pemikir yang bekerja itu tidak akan menjadikan pekerjaannya sebagai penghalang untuk tetap berada dalam koridor sebagai seorang pemikir, berbeda dengan seseorang yang memprioritaskan menjadi pekerja, ketika jabatannya semakin tinggi dan merasa hidup telah tercukupi oleh materi maka hedonisme akan mengakar dalam dirinya, sehingga ia merasa untuk tidak lagi membutuhkan ilmu, dan praktis hal ini telah menodai prinsip pendidikan "long life education".     
 Tidak dapat dipungkiri bahwa hendaknya kita beradaptasi dengan realita yang ada saat ini, namun bukan berarti menghilangkan substansi pendidikan itu sendiri. sebagai contoh pada saat ini bahwa tidak sedikit orang tua yang memasukan anaknya ke suatu lembaga pendidikan hanya dengan harapan agar mudah bekerja, dan setelah mendapatkan kerja ia merasa tidak perlu lagi untuk menuntut ilmu, dan lagi-lagi hal ini kontradiktif dengan tujuan pendidikan dan bahkan dengan sabda Rasulullah S.a.w "tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat". namun di sisi lain banyak pula orang yang sukses tanpa ijazah yang tinggi seperti halnya mantan Menlu dan Wakil Presiden R.I ke-2 yaitu Adam Malik, kemudian  host Kick Andy yaitu Andi F Noya, di tempat lain Ajip Rosidi bahkan lebih radikal lagi dengan tidak mau ikut Ujian Akhir SMA nya karena waktu itu beredar kabar bocornya soal-soal ujian. Dia berpendapat di negeri ini banyak orang yang menggantungkan hidupnya pada ijazah. "saya tidak ikut ujian karena ingin membuktikan bisa hidup tanpa ijazah", dan itu dibuktikan dengan terus menulis dan menabung buku sampai ribuan jumlahnya. Alhasil, sampai pensiunan menjadi guru besar tamu di Jepang. Dia tidak punya ijazah SMA, pada usia 29tahun diangkat menjadi dosen luar biasa fakultas sastra di UNPAD, lalu jadi direktur penerbit dunia pustaka jaya, ketua IKAPI pusat, ketua DKJ dan kariernya pada usia 43tahun menjadi profesor tamu di Jepang sampai pensiuan. (kickandy.net).
      Dan kini saatnya kita merubah pola fikir dan menyamakan persepsi bahwa legalitas bukanlah sesuatu yang harus dijadikan sebagai prioritas utama, biarkanlah legalitas mencari kita seiring dengan kualitas dan prestasi yang kita miliki bukan justru sebaliknya. Semoga kita termasuk oran-orang yang berfiikir.