Jumat, 01 Oktober 2010

Ketika Legalitas Menjadi Prioritas

Ketika Legalitas Menjadi Prioritas
Oleh : Hilman Indrawan
 Pendidikan merupakan elemen terpenting bagi kehidupan manusia sebagai proses dalam pembentukan karakter yaitu pengembangan intelektual, kontrol emosional, dan penguatan spiritual. Dari pernyataan atau definisi tersebut mari kita selaraskan dengan fakta pendidikan yang ada di Indonesia, apakah pendidikan negeri kita secara umum telah memenuhi tiga aspek penting tersebut atau bahkan pendidikan hanya dijadikan sebagai formalitas belaka ? 
Hal terpenting untuk menjawab "tanda tanya" tersebut ialah memahami secara mendasar tujuan masyarakat pada umumnya dengan melihat aplikasi dari pendidikan itu sendiri dan menganalisa fakta yang berkembang secara global. Telah kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara ke-4 yang memiliki kepadatan penduduk terbanyak di dunia setelah China, India, dan AS. Dengan jumlah 238.315.176 jiwa, Indonesia memiliki kesempatan lebih besar dari negara-negara lain untuk menjadi negara yang maju dalam pendidikan baik secara kuantitas maupun kualitas. Namun ironisnya, bila melihat fakta yang berkembang dalam satu dasawarsa terakhir ini ternyata Indonesia jauh dari apa yang diharapkan. Pada tahun 2000 hasil penelitian program pebangunan PBB (UNDP) menunjukan kualitas SDM Indonesia berada pada urutan 109 dari 174 negara, jauh dibanding dengan tetangga Singapura (24), Malaysia (61), Thailand (76), dan Fhilipina (77), pada tahun 2001 berdasarkan data hasil penelitian di Singapura sistem pendidikan Indonesia menempati urutan 12 dari 12 negara yang Asia bahkan lebih rendah dari Vietnam. kemudian pada tahun 2002, hasil survey World Competitiveness Year Book, indonesia menempati peringkat 53 dari 55 negara yang disurvey.
Problematika yang terjadi pada pendidikan kita saat ini diindikasikan karna adanya kesalahan dari hal yang mendasar seperti halnya cara pandang masyarakat tentang tujuan pendidikan yang menganggap bahwa legalitas akademik menjadi prioritas utama dalam dunia pendidikan. Ini merupakan degradasi persepsi yang menjadi kontradiktif dengan tujuan pendidikan yang substantif. Ketika legalitas menjadi prioritas utama dalam tujuan pendidikan suatu lembaga atau personal maka terlahirlah suatu sistem atau model pendidikan yang tidak lagi normatif. Ada beberapa kekeliruan terjadi yang disebabkan oleh pandangan tersebut, sebagai berikut :  pertama, kuantitas lulusan diprioritaskan bukan kualitas lulusan. banyak lulusan tidak bekualitas semakin tidak berkualitas karna pendidikan yang belum sampai pada titik tujuan namun sudah diluluskan sehingga akhirnya banyak sarjana pengangguran, lulusan sekolah kejuruan yang tidak lagi menjurus ketika berada pada masyarakat dan pada akhirnya pendidikan yang selama ia lakoni tak ada lagi artinya, tidak sedikit lulusan madrasah yang bermoral buruk karna hasil dari madrasahnya hanya sekedar ijazah pesantren, dan masih banyak lagi contoh-contoh yang berkembang pada realitas para pelajar atau pelaku pendidikan pada umumnya yang masih memegang teguh budaya formalitas.
Kedua, terkesan menciptakan para pekerja, bukan para pemikir. suatu penodaan dalam pendidikan ketika istilah-istilah industri meracuni istilah intelektual, ini merupakan sesuatu yang telah membumi di negeri ini dan pemerintah pun seolah mendalanginya sehingga lembaga dan masyarakat menjadi wayang intelektual yang dituntut untuk memproduksi para pekerja yang lahir dari lembaga-lembaga pendidikan.
Hal ini menyebabkan pergeseran tujuan dasar pendidikan yang semestinya melahirkan para pemikir yang mampu mengkondisikan hidup dengan kemampuan intelektualnya bukan semata-mata untuk menjadi pekerja. Logikanya, seorang pelajar yang diproduksi sebagai pelajar belum tentu ia seorang pemikir, namun seorang pemikir akan memungkinkan dirinya menjadi pekerja yang dibutuhkan karena kemampuan yang dimilikinya. Dan perlu diketahui bahwa pemikir yang bekerja itu tidak akan menjadikan pekerjaannya sebagai penghalang untuk tetap berada dalam koridor sebagai seorang pemikir, berbeda dengan seseorang yang memprioritaskan menjadi pekerja, ketika jabatannya semakin tinggi dan merasa hidup telah tercukupi oleh materi maka hedonisme akan mengakar dalam dirinya, sehingga ia merasa untuk tidak lagi membutuhkan ilmu, dan praktis hal ini telah menodai prinsip pendidikan "long life education".     
 Tidak dapat dipungkiri bahwa hendaknya kita beradaptasi dengan realita yang ada saat ini, namun bukan berarti menghilangkan substansi pendidikan itu sendiri. sebagai contoh pada saat ini bahwa tidak sedikit orang tua yang memasukan anaknya ke suatu lembaga pendidikan hanya dengan harapan agar mudah bekerja, dan setelah mendapatkan kerja ia merasa tidak perlu lagi untuk menuntut ilmu, dan lagi-lagi hal ini kontradiktif dengan tujuan pendidikan dan bahkan dengan sabda Rasulullah S.a.w "tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat". namun di sisi lain banyak pula orang yang sukses tanpa ijazah yang tinggi seperti halnya mantan Menlu dan Wakil Presiden R.I ke-2 yaitu Adam Malik, kemudian  host Kick Andy yaitu Andi F Noya, di tempat lain Ajip Rosidi bahkan lebih radikal lagi dengan tidak mau ikut Ujian Akhir SMA nya karena waktu itu beredar kabar bocornya soal-soal ujian. Dia berpendapat di negeri ini banyak orang yang menggantungkan hidupnya pada ijazah. "saya tidak ikut ujian karena ingin membuktikan bisa hidup tanpa ijazah", dan itu dibuktikan dengan terus menulis dan menabung buku sampai ribuan jumlahnya. Alhasil, sampai pensiunan menjadi guru besar tamu di Jepang. Dia tidak punya ijazah SMA, pada usia 29tahun diangkat menjadi dosen luar biasa fakultas sastra di UNPAD, lalu jadi direktur penerbit dunia pustaka jaya, ketua IKAPI pusat, ketua DKJ dan kariernya pada usia 43tahun menjadi profesor tamu di Jepang sampai pensiuan. (kickandy.net).
      Dan kini saatnya kita merubah pola fikir dan menyamakan persepsi bahwa legalitas bukanlah sesuatu yang harus dijadikan sebagai prioritas utama, biarkanlah legalitas mencari kita seiring dengan kualitas dan prestasi yang kita miliki bukan justru sebaliknya. Semoga kita termasuk oran-orang yang berfiikir. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar