Senin, 20 Desember 2010

Ketika Shalat Berjamaah Menjadi Solusi

Mahasiswa muslim merupakan calon cendikiawan muslim di masa yang akan datang. Peranannya dalam kemajuan islam sangat dibutuhkan. Namun, apakah predikat calon cendikiawan muslim itu selaras dengan perilakunya ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu kita perhatikan fakta yang ada pada saat ini.Fakta yang berkembang pada saat ini di perguruan tinggi islam seperti UIN, STAIN, PTAIS ternyata memiliki banyak kejanggalan pada mahasiswanya. Yakni adanya peran sebagai mahasiswa muslim yang kontradiktif dengan aplikasinya. Perilaku mahasiswa yang tidak islami justru menjadi predikat baru dari masyarakat. Bahkan tidak sedikit yang meragukan dan mencemoohnya.
Keadaan demikian tentu saja mesti dihilangkan bila tak ingin islam manjadi bulan-bulanan yahudi. Upaya untuk meminimalisir hal itu dibutuhkan kesadaran dari berbagai pihak. Kesadaran dalam meningkatkan perilaku mahasiswa menjadi lebih baik. Berbicara tentang kebaikan, tentu saja tidak terlepas dari peran agama. Tidak dipungkiri bahwa agama selalu menjadi solusi terbaik bagi masalah apapun.
Penerapan spiritual terhadap diri seseorang selalu manjadi  solusi alternatif ketika pendekatan logika dan emosional tak berpengaruh. Salah satu ritual yang memiliki keutamaan besar adalah shalat berjamaah. Shalat berjamaah memiliki keutamaan dua puluh derajat dari shalat sendiri. Kemudian adanya ketaatan terhadap imam yang memimpin shalat, jalinan ukhuwah dan yang terpenting adanya kekuatan jamaah yang bersama-sama bersujud kepada Allah S.w.t.
Dengan beberapa keutamaan shalat berjamaah tersebut, aplikasi yang dihasilkan akan menemukan perubahan dalam diri. Karena dengan diangkatnya derajat seseorang oleh Allah, maka telah terjadinya pembentukan dan peningkatan keimanan dan akhlak seseorang. Begitu pula dengan mahasiswa yang memiliki perilaku buruk. Mereka akan mengalami perubahan ketika shalat berjamaah telah dianggap sebagai sesuatu yang urgen dan dibutuhkan.
Sebuah solusi yang efektif bila suatu perguruan tinggi islam menerapkan kedisiplinan untuk selalu shalat berjamaah kepada mahasiswanya. Karena diakui atau tidak, bahwa masih banyak mahasiswa yang melalaikan hal ini. Bahkan melalaikan waku shalat. keberanian kampus menerapkan kedisiplinan shalat berjamaah memang jarang kita temukan. Anggapan mahasiswa telah dewasa dan tidak perlu banyak aturan baku memang tidak disalahkan. Namun sangat dibenarkan ketika kampus bersikap tegas dalam hal tersebut.
Mahasiswa muslim yang mejadi harapan ditengah kebobrokan dan kesulitan bangsa, harus dijadikan perhatian khusus bagi mahasiswa itu sendiri. Peran mahasiswa sebagai agen perubahan mesti dibarengi dengan perubahan pada diri pula. Dan dalam hal ini moral yang menjadi prioritas pembenahan. Karena hanya dengan moral lah perubahan mampu direalisasikan. Maka spiritual menjadi solusi pembenahan moral. itu Dan ibadah shalat berjamaah menjadi salah satu ibadah yang hadir sebagai solusinya. Wallahu A’lam Bishowwab


Rabu, 17 November 2010

Langkah untuk sang Ayah

Oleh : Ibnu Jadid (Hilman Indrawan)

Siang itu, gemuruh suara drum aksi dari eskul marching band mengiringi sepuluh lulusan berprestasi. Ilham, seorang anak sederhana menjadi salah satu diantaranya. Dengan tegapnya ilham bersama teman lainnya melangkah perlahan menuju panggung penghargaan. Iringan marching band dan atraksi dari mayoret membuat mereka tersanjung. Satu persatu nama-nama mereka bergema diantara lebih dari seribu siswa SMP saat itu. Tak sedikit air mata kebanggan menetes dari orang tua atas prestasi anak mereka. Tak ketinggalan pula haru biru dari para siswa larut dalam suasana perpisahan itu.
“kejar terus prestasimu nak, ibu bangga padamu.” Bisik seorang guru pada ilham.
“Terima kasih bu.” Balas ilham menahan haru.
Dilihatnya dari atas panggung, sahabat-sahabat tercinta tersenyum lebar sembari mengangkat kedua jempol tanda rasa bangga. Seketika ia tertunduk, ia menyadari bahwa perpisahan diambang waktu.
Ia turun menghampiri sahabat-sahabatnya, jabat tangan dan peluk hangat menjadi akhir dari acara perpisahan itu.
Setelah acara penutupan selesai, seluruh siswa bergegas pulang. Namun ada yang berbeda pada koridor kelas IX A. Ilham dan teman-teman sekelasnya berkumpul sejenak. Berbagai ucapan selamat dan pertanyaan dilontarkan kepada salah satu lulusan terbaik itu.
“Hai bro, selamat ya, lain kali ajak-ajak aku dong kalau naik panggung” ujar doni dengan ketawanya yang khas.
“iya ham, aku juga tambah kagum ma kamu” seolah tak mau kalah, sisil yang selama tiga tahun menyukai ilham pun ikut berkomentar.
“ha..ha..” dengan serentak teman-temanya mentertawakan sisil yang memang terkenal dengan kecentilannya.
“ah kalian sirik banget sih” sanggah sisil sembari memegangi rambutnya yang panjang.
Suasana kembali hangat seolah tak akan ada perpisahan di hari itu. Ilham sebagai objek pertanyaan terlihat begitu tenang dan berwibawa.
Diakhir perbincangan, gilang salah satu teman terdekat ilham bertanya “ham, nilai kamu kan tinggi, apa kamu akan mendaftar ke SMA favorit?”
Dengan senyumnya yang khas, Ilham menjawab “ tidak lang, aku mau ke pesantren saja”
“maksud kamu?” Gilang terkejut mendengarnya.
“nilai kamu besar ham, ngapain masuk pesantren?” potong Angga yang juga heran mendengarnya.
“teman-teman, pesantren adalah pilihanku sejak lama, bahkan sebelum aku masuk ke SMP pun pesantren telah menjadi pilihan, hanya saja kondisi saat itu membuatku mengurungkan niat” ungkap Ilham menjelaskan alasannya.
“ah kamu ham, mending masuk ke SMA negeri aja, kamu pasti diterima, secara nilaimu kan tinggi” ujar Erik yang juga menyayangkan keputusan Ilham.
“sudahlah, yang mau sekolah kan ilham, seharusnya kita mendukungnya. OK ” ujar Irsan teman sebangku Ilham.
“iya aku setuju, kita harus mendukungnya. Dan aku percaya sama kamu ham” bela Adi menghampiri Ilham.
”makasih teman-teman, doakan saja ya.. semoga aku sukses” ungkap Ilham menatap teman-temannya satu persatu.
Perbincanganpun berakhir, dan mereka saling berpelukan disertai haru yang menyelimuti. Kemudian kosonglah koridor kelas itu seiring dengan berpisahnya mereka.
                                                               *   *
Di rumah, ibu Ros seorang penjahit yang tiada lain adalah ibu kandung ilham, ia terperanjat dari mesin jahit ketika anaknya memanggil-manggil dirinya.
“ibu..ibu..aku bawa sesuatu bu” teriak Ilham memanggil ibunya.
”ada apa nak?, kamu ini membuat ibu kaget saja” Tanya ibu Ros menghampiri anaknya.
“ini bu..” Ilham memperlihatkan piagam yang ia bawa.
Dipegangnya piagam itu oleh ibu ros, air mata melintasi pipinya dan ia tatap dalam-dalam anaknya. Dan dengan nada pelan ia katakan ”ibu…ibu bangga padamu nak”.
 Lagi, kata-kata bangga itu terlontar dari orang yang ia cintai. Dan kini terlontar dari ibu kandungnya sendiri.
Ilham pun menatap balik ibunya dan mereka berpelukan.
Sementara mereka sedang larut dakam haru kebanggaan, pak Harun ayah kandung ilham tengah terbaring lemas karena sakitnya yang semakin parah.  Kemudian dihampirinya pak Harun oleh Ilham lalu ia peluk ayahnya yang sulit untuk berbicara itu.
 Pak harun telah hampir dua tahun menderita penyakit paru-paru. Beberapa kali beliau dirawat di rumah sakit, namun tak kunjung juga membaik. Ilham yang begitu dekat dengan ayahnya, kini hanya dapat menangis melihat keadaan ayahnya.
Dengan kondisi seperti itu, ilham bertekad ingin membanggakan ayahnya dengan prestasi dan cita-cita yang tinggi. Cita-cita mulia, cita-cita yang juga diharapkan oleh pak Harun yaitu menjadi pembaharu di tengah kondisi bangsa.
Keesokan harinya, tanpa menunda-nunda waktu, ilham bergegas mencari pesantren yang menjadi pilihannya. Walaupun ia hanya membawa secuil kertas yang berisikan alamat yang tak ia kenal, ilham tetap mencarinya bersama sepedanya yang ia pinjam dari saudaranya. Dengan penuh semangat ia mengayuh sepeda berkilo-kilo meter jauhnya. Di jalan, ketika perjalanan telah mencapai 6 km, tiba-tiba ban sepeda yang ia tumpangi meletus. Sungguh hal yang tidak pernah ia duga sebelumnya.
Dilihatnya isi saku yang ia bawa, ternyata ia hanya memiliki uang untuk mendaftar saja. Ia merasa sangat bingung, sejenak ia berfikir, dan akhirnya ia memutuskan untuk menyimpan dulu sepedanya di bengkel dan ia berjalan menuju pesantren.
Setapak demi setapak ia melangkah, ia tahu bahwa perjalanan masih 7 km lagi. Namun semangatnya tak pernah kendur. Terik matahari membuatnya terasa pusing, mengingat ia memang tengah berpuasa sunah. Namun itu bukanlah penghalang baginya.
Hingga akhirnya dari kejauhan ia lihat petunjuk bahwa Pesantren Al-Islam 84 hanya tinggal 500 m lagi. Melihat hal itu , semangatnya semakin terpacu, sehingga ia berlari menuju pesantren itu. Sesampainya di depan  gerbang pesantren, ia bersujud tanda syukur kepada Allah.
Saat itu, jarum jam menunjukan pukul 12:00. Maka ia pun menuju masjid pesantren untuk mendirikan shalat dzuhur. Dilihatnya sntri-santri berseragam rapi dan santriwati berjilbab begitu tertutup. Pemandanngan yang tak pernah ia lihat sebelumnya di sekolah-sekolah umum. Dalam hati ia berkata”subhanallah, aku langsung cinta pada pesantren ini”.
Seusai shalat, sedikit gugup ia alami saat menghadaPke kantor asatidz atau kantor guru bila di sekolahnya dulu. Masuklah ia ke dalam kantor, kemudian pembicaraan pun dimulai. Ilham yang tadi gugup, kini begitu antusias menceritakan tujuannya memilih pesantren dan perjuangannya hingga tiba di pesantren tersebut. Perbincangan terus berlangsung diantara mereka. Ust. Rahman memujinya, begitu pula asatidz lainnya. Namun kemudian ust.rahman berkata ” kami sangat menghargai niat dan tekad anda, namun mohon maaf kami tidak menerima lulusan selain dari tsanawiyah”
Mimik muka Ilham berubah, seolah tak percaya akan perkataan itu, ia menundukan pandangan.
“tapi tenang saja, kamu masih bisa menuntut ilmu di pesantren, namun bukan disini” ujar ust. Rahman menenangkan Ilham yang terlihat lesu.
 “ maksud ustadz? ” Tanya Ilham mengangkat kembali pandangannya.
“ kamu bisa sekolah di Pesantren Al-Islam 67 Benda Tasikmalaya, insyaallah disana menerima lulusan dari SMP. ” Papar ust. Rahman sembari meberikan alamatnya.
“ alhamdulillah..terima kasih banyak ustadz, hampir saja saya putus asa ” Ungkap Ilham yang begitu bersyukur mendengarnya.
Ilham pun menyalami satu persatu asatidz dan berpamitan kepada mereka.
“ assalamualaikum ” salam ilham seiring keluar dari ruangan kantor asatidz.
                                                                       *  *
Sabtu pagi, tepatnya dua hari sepulangnya dari Pesantren Al-Islam 84, Ilham menghancurkan tabungannya. Tabungan yang telah ia kumpulkan selama satu tahun. Kini akan ia gunakan untuk transport menuju pesantren yang berada di kota Tasikmalaya.
Ia berniat untuk berangkat pada sabtu malam. Sengaja ia memilih malam hari, karena ia tidak terbiasa dengan perjalanan siang. Kali ini ia pergi bersama luqman sahabatnya sejak kecil. Sabtu malam, sepulangnya dari masjid setelah mendirikan shalat isya, Ilham berpamitan kepada ibunya dan ia berangkat bersama Luqman.
Disaat lampu bundar berkelipan menyinari kemaksiatan malam dan para muda-mudi menghamburkan waktu memuaskan nafsunya, ilham justru tengah berjuang mencari ridho Allah. Sungguh, sesuatu perbedaan yang begitu mencolok dari kedua keadaan tersebut. Ya, remaja seperti ilham hanyalah minoritas di zaman modern ini.
Malam itu, Ilham dan Luqman mengendarai bus menuju kota Tasikmalaya, kota sejuta santri. Mereka begitu bersyukur dapat berangkat pada malam itu.
Malam yang semakin senyap, membuat mereka terlelap. Puluhan kilometer telah mereka lalui, dan sampailah mereka di Kabupaten Tasikmalaya. Namun mereka tak juga terbangun dari tidurnya. Sampai pada akhirnya seseorang bertopi hitam membangunkannya. Mereka bangun terperanjat karena kaget dan khawatir bila pesantren yang ia mereka tuju telah terlewat.
Dengan kantuk yang masih melekat, mereka hampiri supir bus dan bertanya kepadanya “ Pak, kalau Kecamatan Benda masih jauh tidak? ” Tanya Ilham yang penuh dengan cemas.
“maaf dek, tempat itu telah terlewat belasan kilometer tadi ” jawab pak supir.
“ apa? Terus bagaimana dengan kami pak? ” sahut Luqman yang begitu kaget mendengarnya.
“kalian turun saja disini, nanti tanyakan pada warga daerah sini” ujar Pak supir sembari memberhentikan kemudinya.
Akhirnya mereka pun diturunkan tepat di pangkalan ojeg depan mesjid yang telah terkunci. Mereka bengong saling pandang. Tak sepatah kata pun terucap. Kedua mata mereka seolah menangkap udara kosong. Seorang pria berjaket kulit menghampiri mereka. “ Dari mana dan mau kemana kalian? ” Tanya pria itu dengan ramah.
 “ Kami dari Bandung, dan akan ke Benda pak ” jawab Luqman.
 “oh mau ke Benda, saya bisa antar kalian kesana, ongkosnya Cuma 50.000 aja ” tawar pria yang ternyata tukang ojeg itu.
“50.000?” sahut Luqman yang kaget mendengarnya.
“ya sudah, kalau ga mau, tapi saya tidak menjamin kalian tidak akan tersasar di sini ”
“mohon maaf pak, tapi sebenarnya Kecamatan Benda itu ada dimana?”
“di Kabupaten Tasikmalaya belasan kilometer di belakang sana.”
“kabupaten ? tapi yang kami cari itu di kotamadya pak”
“oh, kecamtan Benda memang ada dua, dan kalau kalian cari yang di kotamadya, itu lebih jauh lagi. Karena sekarang ini kita berada di kabupatennya” papar tukang ojeg itu.
“baiklah pak, kami akan berjalan saja” ujar Ilham yang tak ragu memutuskan untuk berjalan kaki.
“ apa? Kota tasik itu masih jauh dek ” sahut tukang ojeg yang terheran-heran mendengar perkataan ilham.
“tidak apa pak, kami harus berjuang meskipun jauh”
“luar biasa, ya sudah hati-hati di jalan ya..”
“iya pak, terima kasih’ ucap Ilham dan Luqman berlalu meninggalkan pangkalan ojeg itu.
Gelap malam tu telah manunjukan pukul 00:00, mereka berjalan menelusuri jalanan. Lelah dan kantuk mereka rasakan. Belasan kilometer sudah mereka lalui, dan sampailah mereka di perbatasan antara Kabupaten dan Kotamadya Tasik. Sejenak mereka beristirahat, dilihatnya oleh mereka terdapat warung yang masih buka. Kemudian mereka hampiri warung itu. Namun tak ada satu pun orang  yang menjaga warung itu. Padahal Luqman hendak membeli obat karena sakit maghnya kambuh dan kakinya berdarah karena lecet. Ilham yang tak tega melihat keadaan sahabatnya, kemudian menggendong Luqman. Perjalanan kembali dilanjutkan. Asma allah terus Ilham lantunkan sembari menahan beratnya beban perjalanan karena menggendong sahabatnya. “ langkah ini untuk ayahku…langkah ini untuk ayahku…” berulang-ulang ia katakan kata-kata itu didalam hati. Akhirnya di ujung jalan, ia lihat bangunan kokoh berwarna hijau bertuliskan “ Pesantren Al-Islam 67 Benda Tasikmalaya”.
Betapa bahagianya Ilham ketika pesantren yang ia cari telah tampak di depan mata. Adzan shubuh menjadi akhir dari pencarian mereka. Namun mereka tak bisa langsung memasuki pesantren karena gerbangnya yang masih terkunci. Mereka pun shalat di masjid depan pesantren. Dzikir terucap dari bibir mereka, rasa syukur telah menghapus kelelahan yang ada. Ilham tak henti bersyukur dan mendoakan ayahnya yang kini tengah terbaring lemas di rumahnya. Namun tiba-tiba saja nada handphone milik luqman menjerit tanda sms dari bibi Ilham.
“ innalillahi wainnailaihi roji’un, semoga allah memberikan kesabaran terhadapmu ham. Ayahmu meninggal dunia. Ayahmu berpesan kalau kamu mesti melanjutkan terus langkah perjuanganmu.”
Pandangannya kosong, seolah tak percaya, pecahlah tangisan itu dari matanya. Tubuhnya roboh pada penjuru masjid. Ia benar-benar hancur melebur bersama kesedihannya. Ia peluk luqman dan dengan terbata-bata ia berkata “ sahabat, kau tahu mengapa aku rela berjuang menuju pesanntren ini? Semua itu untuk ayahku, langkah-langkah ini untuk kebanggaan ayahku. Tapi kini ia telah tiada, ia telah pergi meninggalkanku.”
Luqman mencoba terus menenagkannya, namun Ilham telah benar-benar hanyut dalam kesedihan. Dan akhirnya mereka pun kembali ke Bandung setelah mengunjungi pesantren dengan waktu yang benar-benar sedikit.
Meski ayahnya telah meninggal, namun langkah perjuangan ilham tak lantas terkubur oleh rasa putus asa. Semenjak kejadian itu, ilham selalu menjadikan pesan terakhir dari ayahnya sebagai motivasi. Dan kini ia terus melangkahkan perjuangan demi satu makna yang bernama mimpi, dan satu tujuan yaitu sukses.
                                                 *  *

  

Selasa, 02 November 2010

RESENSI BUKU METODOLOGI STUDI ISLAM

OLEH : H. Indrawan CS.Pd.I

Judul                : Metodologi Studi Islam
Penulis              : Prof. Dr. Supiana, M.Ag. Pepen Supendi, S.Pd.I
Penerbit            : Fakultas Tarbiyah dan Keguruan    
Terbit               : Cetakan pertama, Agustus 2010
Halaman           : iii + 227 halaman

Metodologi studi islam adalah salah satu mata kuliah yang wajib ditempuh oleh mahasiswa UIN, IAIN, STAIN, dan PTS yang menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu agama islam di lingkungan kementrian Agama RI. Metodologi studi islam berhubungan erat dengan mata kuliah yang lain seperti mata kuliah ulumul qur’an, tafsir, ulumul hadits, hadits, tauhid, fiqih,akhlaq, tasawuf, filsafat islam dan pembaharuan pemikiran islam.
Dengan urgensi mempelajari Metodologi studi islam tersebut, maka Prof. Dr. Supiana M.Ag dan Pepen Supendi S.Pd.I menyusun buku MSI sebagai jawaban atas permasalahan-permasalahan yang muncul pada era kontemporer ini.
Buku ini memiliki 227 halaman dengan tersusun oleh sebelas bab, diantaranya dalam pembahasan pertama, dijelaskan tentang pentingnya metodologi studi islam yang bermanfaat dalam mengubah pemahaman masyarakat muslim Indonesia dari pemahaman yang sempit menjadi luas. kemudian dijelaskan pula berbagai pengertian agama baik yang dikemukakan oleh pakar dari Indonesia maupun pakar dari barat.
Dalam pembahasan kedua, menjelaskan tentang dikotomi ilmu dan sejarah munculnya, pembidangan ilmu agama islam baik melalui ketetapan departemen agama maupun hasil rekomendasi dari para pakar. Kemudian membahas pula karakteristik ajaran islam yang sebenarnya dengan memaparkan beberapa bidang-bidang yang menjadi karakter ajaran islam itu sendiri.     Pembahasan selanjutnya berkenaan dengan pendekatan-pendekatan dan metode dalam studi islam yang memaparkan corak pemikiran-pemikiran keagamaan islam, diantaranya pemikiran keagamaan fundamentalis, modernis, misianis, dan tradisionalis, dan tuntutan untuk memhami agama sesuai dengan zamannya yang memunculkan pendekatan-pendekatan dalam memahami agama seperti pendekatan teologi, pendekatan histories, sosiologis, antropologis, filosofis dan sebagainya.
Bab ini pun menjelaskan beberapa metode dalam mengkaji agama. metode-metode yang dipandang lazim digunakan penelitian pemikiran keagamaan tersebut. Antara lain, metode fiologi, deskriptif, perbandingan hermeneutika, dan fenomologi, mistikal, dan filsafat. Metode-metode tersebut memiliki fungsi yang berbeda dalam pengkajiannya. Selanjutnya pada bab V dibahas tentang sumber ajaran islam, yaitu al-qur’an yang meliputi pembahasan fungsi Al-qur’an,  ilmu-ilmu Al-Qur’an, kaidah-kaidah tafsir, ketentuan-ketentuan dalam penafsiran. Dalam bab ini penulis memberi informasi kepada pembaca tentang kajian dalam mempelajari Al-Qur’an secara umum setelah mempelajari studi Al-Qur’an sebagai sumber ajaran islam. Maka dalam bab selanjutnya dibahas mengenai sumber ajaran islam yang kedua yaitu al-hadits, bab ini membahas hadits dari pengertian, fungsi, hingga jenis-jenis hadits.
Kemudian dipaparkan metode studi hadits yang meliputi tujuan penelitian, langkah-langkah penelitian hadits, sejarah singkat kodifikasi dan metode takhrij hadits. Setelah pembahasan alquran dan hadits, bab selanjutnya juga memiliki korelasi pembahasan, yakni pembahasan tentang ijtihad sebagai sumber dan metode studi islam, isi dalam pembahasan tersebut dibagi kepada dua bagian, yaitu ijtihad sebagai sumber ajaran dan sebagai sumber metode studi islam. Bab selanjutnya membahas metode mempelajari pemahamaman tentang islam yang meliputi berbagai kajian metode. Bab ini memiliki kegunaan dalam menganalisa khazanah intelektual muslim terutama dalam kajian ilmunya.
Dari beberapa pembahasan pada bab sebelumnya tentu saja tidak terlepas dari sejarah kebudayaan islam, maka dalam bab IX dibahas sejarah kebudayaan islam yang dibagi atas masa Nabi dan Khulafaurrasidin, masa dinasti umayyah dan abbasiyah, dan masa tiga kerajaan besar. Kemudian pada penghujung bab dipaparkan tentang kajian keislaman yang dipahami dari outsider dan insider, dan isu isu kontemporer dalam Islamic studies. Keutamaan dalam bab ini adalah pembaca akan memahami peta dan posisi islam dalam perspektif orang yang berbeda.
Adapun kelebihan dalam buku ini, diantaranya struktural pembahasan yang sistematis-korelasi, sehingga memudahkan pembaca dalam memahami pembahasan secara korelatif pula. Kemudian buku ini memberi bekal terhadap pembaca sebagai pengantar studi agar memiliki pemahaman terhadap islam secara komprehesif dari berbagai aspeknya, mengetahui beberapa metode dan pendekatan dalam mempelajari islam, dan mengupayakan pembaca agar memiliki gambaran umum mengenai islam secara efektif dan efisien dalam waktu yang relatif singkat.    
Disamping memiliki kelebihan, buku ini pun tidak terlepas dari kekurangannya, yaitu memiliki beberapa pembahasan yang kurang mudah untuk terfahami bagi pemula khususnya, kemudian editing belum sempurna, dan glosarium yang kurang lengkap sehingga masih banyak bahasa yang tidak terdefinisi.
Buku ini sangat bermanfaat bagi para calon cendikiawan muslim sebagai tahap awal dalam memahami islam lebih dalam lagi.

Catatan peresensi (kritik)
Dalam bab II, halaman 4, dituliskan “…kekeliruan itu terjadi karena pengajian tadi dan kurikulum pendidikan hanya menekankan pada aspek ibadah, tauhid, al-qur’an dan as-sunnah… ”. Dalam hal tersebut, mohon diperhatikan kembali masalah perbahasaan yang memungkinkan terjadinya kesalahan penafsiran bagi pembaca. Bila dikaitkan dengan kalimat sebelumnya tentang umat islam yang banyak beranggapan islam bersifat sempit, kemudian salah satunya adalah ‘kekeliruan karena hanya mempelajari qur’an dan sunnah’, tentu saja itu keliru, karena meskipun hanya mempelajari dua sumber tersebut agama tidak akan sempit. Karena dengan mempelajarinya dengan catatan didasarkan dengan ilmu, al-qur’an as-sunnah akan melahirkan berbagai aspek yang luas, dan mampu menjawab tantangan zaman. 


Minggu, 24 Oktober 2010

nitip hula IKAPPIL


PROFIL


NAMA                              : IKAPPIL (ikatan alumni pesantern persatuan islam lebakwangi)
SEBUTAN ANGGOTA : PILOVER’S
BERDIRI                         : 16 juli 2010
ALAMAT SEKR.           : Gd.Pesantren Persis Lebakwangi Rt 02/02 Ds. Lebakwangi kec. 
                                          Arjasari kab. Bandung
VISI                                  : Menjadikan IKAPPIL sebagai ikatan alumni yang kembali   
                                           terikat Dengan pesantren dan siap untuk mengabdi.
MISI                                : Memberikan kontribusi dalam mendukung tujuan PPI
                             Lebakwangi dalam menciptakan generasi qur’ani yang kreatif dan
      kompetitif.
TUJUAN PERSONAL  :Mencari jati diri sebagai muslim sejati dengan jihad fi sabilillah.
MOTTO/SLOGAN        : “Be a the true moslem











PROGRAM
TARBIYAH
-         Mengadakan forum bagi anggota IKAPPIL yaitu forum diskusi dan sharing yang bekerjasama dengan narasumber dari eksternal anggota.
-         Mengadakan pembinaan bagi anggota berupa training, dan debating club yang akan bekerjasama dengan pemateri dan pengisi acara dari eksternal anggota
-         Mendukung eskul eskul kependidikan yang terdapat dalam POTASKI dengan ikut serta dalam pembinaan.
SOSIAL
-         Membuat komunitas sosial yaitu APAL(Aksi Peduli Alumni Lebakwangi), yang akan bertugas dalam bidang kesosialan baik internal maupun eksternal.
-         Kerjasama kesosialan eksternal dengan komunitas lain, seperti Palang Merah, Santri Husada dll.
KADERISASI
-         Mengadakan pengkaderan atau pembinaan bagi santri dalam mengembangkan potensi , talent dan skill yang terbentuk dalam POTASKI(potensi, talent, n skill).
PUBLIKASI
-         Mengkomunikasikan dan menginformasikan hal-hal yang perlu dikabarkan kepada seluruh anggota.
-         Mendokumentasikan kegiatan melalui media.

Sabtu, 16 Oktober 2010

PENGEMIS BERSERAGAM

oleh : Hilman Indrawan
Pengemis merupakan "wajah" dari masalah sosial yang dikarenakan rendahnya ekonomi. tingkat kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi, tidak seimbang dengan pemenuhannya. sehingga hal ini yang menjadi salah satu faktor adanya pemecahan masalah oleh masyarakat yang tidak lagi notmatif.

            Pengemis di Indonesia, sering kita lihat di jalan-jalan raya, mereka rela berpanas-panasan hanya sekedar mengemis uang yang sedikit. rasa malu sudah tidak lagi dihiraukan, meskipun terkadang banyak orang yang mencibir dan menghinanya. dari kenyataan tersebut, penulis melihat dari ciri-cirinya, ternyata selain pengemis yang berbaju compang-camping, ada pula pengemis yang berpenampilan rapi, tegap, dan berseragam. siapakah pengemis berseragam itu ?

Bukanlah justifikasi yang salah, bila kita menjawab bahwa pengemis berseragam itu adalah oknum polantas. Dengan cirri-ciri yang sama namun berbeda cara, para oknum polantas elah menunjukan “kepengemisannya” dibalik kewibawaan seragam yang mereka gunakan. Mereka bersembunyi di belakang hokum dengan mengatasnamakan undang-undang sebagai penutup dari ‘aksinya’.
Keadilan telah buta ketika rupiah nampak pada mata yang telah buta pula. Kewajiban menegakan keadilan berubah menjadi menyemarakan kebohongan. Sangat ironis, gaji polantas yang tidak sedikit masih saja membuat mereka tidak puas. Masyarakat yang melanggar peraturan menjadi sasaran pendustaan hokum. Semakin sering mereka melakukan hal itu, semakin mereka mempertegas bahwa mereka hanyalah aparat ‘penjilat’, bukan aparat pelindung masyarakat.
Tidakka mereka berfikir tentang kemajuan bangsa ini? Jawabannya sudah jelas, bahwa dengan apa yang mereka lakukan, itu menunjukan tak ada sedikitpun mereka berfikir ke arah kemajuan.
Problematika mengenai KKN memang seolah mustahil untuk dibasmi di negeri yang masih banyak kalangan yang menganggap korupsi, kolusi dan nepotisme adalah suatu hal yang biasa. Seperti halnya yang dilakukan oleh para oknum polisi tersebut, mereka menjadi pengemis yang ‘gagah’ dengan kewenangan dan kekuasaanya. Dengan realita diatas, bisa kita simpulkan bahwa justru mereka sendiri sebagai para pengadil yang mesti diadili. Dan dengan adanya masalah tersebut, secara tidak langsung mereka telah menyebarkan ‘budaya’ KKN pada masyarakat, sehingga KKN akan benar-benar menjadi “seni budaya ” pendustaan hokum di Indonesia.  

Keadilan Teradil

Oleh : Hilman Indrawan 
Sebuah bukti keadilan Allah Swt dari Surat 99 Al-zalzalah: 7-8, bahwa perbuatan apapun yang dilakukan manusia, baik keburukan yang sedikit, atau kebaikan yang sedikit, keduanya itu mempunyai konsekuensi hukum. Sehingga manusia akan senantiasa memperhatikan apa yang akan ia perbuat dengan konsekuensi yang akan ia terima. Kemudian petunjuk bagi manusia untuk tidak meremehkan dosa kecil. Asbabun nuzul dari ayat tersebut merupakan bantahan dari anggapan sebagian kaum muslim, yang beranggapan bahwa dosa kecil, seperti berbohong, mengumpat, dan lain sebagainya, tidak akan mendapat siksa. Dan inilah konsep keadilan yang menunjukan bahwa orang yang melakukan perbuatan dosa kecil dan besar adalah sama-sama akan mendapat ancaman neraka. Namun tingkatan dosanya lah yang akan membedakan timbangan hisab oleh Allah Swt.
            Demikian juga hal diatas dikuatkan dalam hadist seperti dibawah ini;Dari Anas r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan (Laa Ilaaha Illallah) dan di dalam hatinya ada seberat biji dari kebaikan (iman)." (HR Bukhari 44 dan Muslim 193)
            Hadist ini telah mengatakan bahwa manusia nantinya akan dikeluarkan dari neraka setelah mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dan juga karena didalam hatinya telah ada seberat biji kebaikan (amal dan iman) ketika masa hidupnya di dunia.
            Dalam ayat lain pula, Allah berfirman yang bermaksud: "Dan Kami akan mengadakan timbangan yang adil pada hari kiamat. Oleh itu, maka tidak ada seseorang yang akan teraniaya barang sedikit pun, walau amalannya seberat biji sawi, Kami tetap menghitungnya, dan cukuplah Kami menjadi penghitung". (Surah Al-Anbiya' ayat 47).
Maka dengan keterangan tersebut, telah kita ketahui bahwa kaitan asbabun nuzul terhadap ayat tersebut memiliki korelasi yang mengandung faedah bagi manusia mengenai keadilan Allah Swt.














Jumat, 08 Oktober 2010

Pendidikan Islam “Kelas Dua” di Negeri Mayoritas Muslim?

Pendidikan Islam “Kelas Dua” di Negeri Mayoritas Muslim?
oleh : Hilman Indrawan
Jika timbul pertanyaan tentang pengertian pendidikan islam, maka akan beragam jawaban yang muncul, namun yang menjadi substansi dari pendidikan islam adalah berbeda dengan pendidikan umum yaitu konsep yang mengarah pada komitmen terhadap Allah S.w.t sebagai upaya membawa manusia kepada eksistensinya sebagai makhluk_Nya. Pada perkembanganya, pendidikan islam telah tersebar di berbagai penjuru dunia dan tidak terkecuali Indonesia sebagai negara yang mayoritas muslim terbanyak di dunia.
Perkembangan pendidikan islam di Indonesia yang diawali dari madrasah atau pengajian yang ada di masjid-masjid kecil hingga kini telah banyak berdiri perguruan tinggi islam, tentu saja tidak terlepas dari para tokoh sebagai para pemikir dan perintisnya, dan pendidikan islam pun selalu memberikan kontribusi yang berarti pada negara dalam hal moral value, sehingga mencerdaskan pelajarnya baik spritual, emosional, maupun intelektual.  Namun kini timbul pertanyaan sederhana tentang keberadaan lembaga pendidikan islam di negeriyang mayoritas muslim ini, apakah pendidikan islam yang berperan bukan hanya “mencerdaskan” bangsa namun lebih dari itu menempati posisi pertama sebagai kiblat pendidikan di Indonesia atau bahkan menjadi “kelas dua” setelah pendidikan umum ?
Fakta yang berkembang pada masyarakat ternyata pendidikan islam memang bukan pilihan pertama. Pada umumnya pandangan yang berkembang tentang pendidikan islam adalah mereka menganggap output lulusannya hanya menjadi seorang ustadz atau da’i yang tidak mampu bersaing dalam kesejahteraan di dunia. Pandangan tersebut muncul tentu saja beralasan seiringdengan system pasda lembaga pendidikan islam yang ada.
Ada apa dengan pendidikan islam kita ? sebuah tanda Tanya besar yang dalam hal ini ditujukan kepada lembaganya bukan pada pendidikan islam itu sendiri, karena pada dasarnya tidak ada yang salah dengan apapun yang berhubungan dengan islam begitu pula dalam bidang pendidikannya, karena islam adalah agama yang telah disempurnakan oleh Allah S.w.t. namun yang perlu dipermasalahkan adalah para penganutnya, apakah mampu menegaskan wajah islam sebagai Rahmatan lil alamin  dengan pendidikan islam sebagai penerangnya atau bahkan semakin membuat pendidikan islam semakin dipandang sebelah mata ?
Masalah klasik yang masih tetap aktual mengenai system pendidikan islam yang ada di Indonesia adalah adanya dikotomi sistem pendidikan, sehingga tidak adanya keseimbangan antara ilmu dunia dan ukhrawi. Islamisasi ilmu dan teknologi dianggap tidak relevan dengan pendidikan islam bagi banyak lembaga dan ulama, seperti halnya yang dikatakan oleh seorang guru besar Universitas Sorbone Perancis yaitu Prof Dr. Muhammad Arkoun yaitu bahwa merupakan kesalahan bila ada keinginan dari cendikiawan muslim untuk melakukan islamisasi ilmu dan teknologi, sebab hal ini dapat menjebak kita pada pendekatan menganggap islam hanya semata-mata sebagai ideologi.
Sejauh ini selama masih adanya permasalahan klasik tersebut maka pesantren pun yang nota bene sebagai lembaga pendidikan yang didayagunakan atas swadaya murni masyarakat selalu dianggap hanya berorientasi pada akhirat semata, padahal kini banyak pesantren modern yang mengintregasikan ilmu umum dan ilmu agama islam. Namun inilah realitasnya, bahwa minoritas tidak mampu merubah pandangan masyarakat awsam yang telah “menetap” sejak lama.
Memang terasa janggal, dalam suatu komunitas masyarakat muslim, pendidikan islam tidak diberi kesempatan untuk bersaing dalam membangun umat yang besar ini. Perhatian pemerintah pada pendidikan islam sangatlah kecil porsinya dan terkesan ‘dianaktirikan’, padahal masyarakat Indonesia selalu diharapkan berada dalam lingkaran masyarakat sosialistis religious. Dan bahkan tidaklah salah jika dikatakan bahwa pendidikan islam di Indonesia justru menempati “kelas dua” di Negara yang mayoritas muslim.
Sebuah pembaharuan sangat diperlukan dalam masalah masalah ini, dan dalam hal ini Alquran dan Hadits sebagai sumber utama adalah solusi dari segala solusi ketika adanya pro kontra diantara umat. Ada enambelas ayat dalam Alquran yang menyebutkan tentang ulul albab, dimana intisari dari ulul albab itu adalah orang yang mampu mengambil hikmah dengan ilmu tentang seluruh apa yang ada di langit atau dalam artian sederhana yaitu tafakur dan tasyakur.
Abdus Salam, seorang muslim pemenang nobel, berkat teori unifikasi(penyatuan) gaya yang disusunnya, berkata “Alquran mengajarkan kepada kita dua hal ; tafakur dan tasyakur.tafakur adalah merenungkan ciptaan Allh di langit dan dibumi, kemudian menangkap hukum-hukum yang terdapat di alam semesta. Tafakur inilah yang seklrang disebut science. Tasyakur ialah memanfaatkan nikmat Allah dengan menggunakan akal fikiran sehingga kenikmtan itu makin bertambah, dalam istilah modern, tasyakur disebut teknologi. Ulul albab merenungkan ciptaan Allah di langit dan di bumi, dan sehingga karunia Allah ini dilipatgandakan nikmatnya.” Dan sesungguhnya di dalam diri ulul albab berpadu sifat-sifat ilmuwan, sifat-sifat intelektual, dan sifat-sifat yang mendekatkan diri pada Allah S.w.t.
Jika hal ini mampu direspon dan tentu saja yang paling penting adalah adanya realisasi yang merata sehingga pendidikan islam di Indonesia menjadi kiblat bagi masyarakat. Dan yang perlu kita yakini sebagai ‘actor pendidikan islam adalah bahwa revolusi yang kita lakukan terhadap pendidikan islam semata-mata karena mengharap ridho Allah S.w.t. wallahu alam bishowwab
  


Jumat, 01 Oktober 2010

Ketika Legalitas Menjadi Prioritas

Ketika Legalitas Menjadi Prioritas
Oleh : Hilman Indrawan
 Pendidikan merupakan elemen terpenting bagi kehidupan manusia sebagai proses dalam pembentukan karakter yaitu pengembangan intelektual, kontrol emosional, dan penguatan spiritual. Dari pernyataan atau definisi tersebut mari kita selaraskan dengan fakta pendidikan yang ada di Indonesia, apakah pendidikan negeri kita secara umum telah memenuhi tiga aspek penting tersebut atau bahkan pendidikan hanya dijadikan sebagai formalitas belaka ? 
Hal terpenting untuk menjawab "tanda tanya" tersebut ialah memahami secara mendasar tujuan masyarakat pada umumnya dengan melihat aplikasi dari pendidikan itu sendiri dan menganalisa fakta yang berkembang secara global. Telah kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara ke-4 yang memiliki kepadatan penduduk terbanyak di dunia setelah China, India, dan AS. Dengan jumlah 238.315.176 jiwa, Indonesia memiliki kesempatan lebih besar dari negara-negara lain untuk menjadi negara yang maju dalam pendidikan baik secara kuantitas maupun kualitas. Namun ironisnya, bila melihat fakta yang berkembang dalam satu dasawarsa terakhir ini ternyata Indonesia jauh dari apa yang diharapkan. Pada tahun 2000 hasil penelitian program pebangunan PBB (UNDP) menunjukan kualitas SDM Indonesia berada pada urutan 109 dari 174 negara, jauh dibanding dengan tetangga Singapura (24), Malaysia (61), Thailand (76), dan Fhilipina (77), pada tahun 2001 berdasarkan data hasil penelitian di Singapura sistem pendidikan Indonesia menempati urutan 12 dari 12 negara yang Asia bahkan lebih rendah dari Vietnam. kemudian pada tahun 2002, hasil survey World Competitiveness Year Book, indonesia menempati peringkat 53 dari 55 negara yang disurvey.
Problematika yang terjadi pada pendidikan kita saat ini diindikasikan karna adanya kesalahan dari hal yang mendasar seperti halnya cara pandang masyarakat tentang tujuan pendidikan yang menganggap bahwa legalitas akademik menjadi prioritas utama dalam dunia pendidikan. Ini merupakan degradasi persepsi yang menjadi kontradiktif dengan tujuan pendidikan yang substantif. Ketika legalitas menjadi prioritas utama dalam tujuan pendidikan suatu lembaga atau personal maka terlahirlah suatu sistem atau model pendidikan yang tidak lagi normatif. Ada beberapa kekeliruan terjadi yang disebabkan oleh pandangan tersebut, sebagai berikut :  pertama, kuantitas lulusan diprioritaskan bukan kualitas lulusan. banyak lulusan tidak bekualitas semakin tidak berkualitas karna pendidikan yang belum sampai pada titik tujuan namun sudah diluluskan sehingga akhirnya banyak sarjana pengangguran, lulusan sekolah kejuruan yang tidak lagi menjurus ketika berada pada masyarakat dan pada akhirnya pendidikan yang selama ia lakoni tak ada lagi artinya, tidak sedikit lulusan madrasah yang bermoral buruk karna hasil dari madrasahnya hanya sekedar ijazah pesantren, dan masih banyak lagi contoh-contoh yang berkembang pada realitas para pelajar atau pelaku pendidikan pada umumnya yang masih memegang teguh budaya formalitas.
Kedua, terkesan menciptakan para pekerja, bukan para pemikir. suatu penodaan dalam pendidikan ketika istilah-istilah industri meracuni istilah intelektual, ini merupakan sesuatu yang telah membumi di negeri ini dan pemerintah pun seolah mendalanginya sehingga lembaga dan masyarakat menjadi wayang intelektual yang dituntut untuk memproduksi para pekerja yang lahir dari lembaga-lembaga pendidikan.
Hal ini menyebabkan pergeseran tujuan dasar pendidikan yang semestinya melahirkan para pemikir yang mampu mengkondisikan hidup dengan kemampuan intelektualnya bukan semata-mata untuk menjadi pekerja. Logikanya, seorang pelajar yang diproduksi sebagai pelajar belum tentu ia seorang pemikir, namun seorang pemikir akan memungkinkan dirinya menjadi pekerja yang dibutuhkan karena kemampuan yang dimilikinya. Dan perlu diketahui bahwa pemikir yang bekerja itu tidak akan menjadikan pekerjaannya sebagai penghalang untuk tetap berada dalam koridor sebagai seorang pemikir, berbeda dengan seseorang yang memprioritaskan menjadi pekerja, ketika jabatannya semakin tinggi dan merasa hidup telah tercukupi oleh materi maka hedonisme akan mengakar dalam dirinya, sehingga ia merasa untuk tidak lagi membutuhkan ilmu, dan praktis hal ini telah menodai prinsip pendidikan "long life education".     
 Tidak dapat dipungkiri bahwa hendaknya kita beradaptasi dengan realita yang ada saat ini, namun bukan berarti menghilangkan substansi pendidikan itu sendiri. sebagai contoh pada saat ini bahwa tidak sedikit orang tua yang memasukan anaknya ke suatu lembaga pendidikan hanya dengan harapan agar mudah bekerja, dan setelah mendapatkan kerja ia merasa tidak perlu lagi untuk menuntut ilmu, dan lagi-lagi hal ini kontradiktif dengan tujuan pendidikan dan bahkan dengan sabda Rasulullah S.a.w "tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat". namun di sisi lain banyak pula orang yang sukses tanpa ijazah yang tinggi seperti halnya mantan Menlu dan Wakil Presiden R.I ke-2 yaitu Adam Malik, kemudian  host Kick Andy yaitu Andi F Noya, di tempat lain Ajip Rosidi bahkan lebih radikal lagi dengan tidak mau ikut Ujian Akhir SMA nya karena waktu itu beredar kabar bocornya soal-soal ujian. Dia berpendapat di negeri ini banyak orang yang menggantungkan hidupnya pada ijazah. "saya tidak ikut ujian karena ingin membuktikan bisa hidup tanpa ijazah", dan itu dibuktikan dengan terus menulis dan menabung buku sampai ribuan jumlahnya. Alhasil, sampai pensiunan menjadi guru besar tamu di Jepang. Dia tidak punya ijazah SMA, pada usia 29tahun diangkat menjadi dosen luar biasa fakultas sastra di UNPAD, lalu jadi direktur penerbit dunia pustaka jaya, ketua IKAPI pusat, ketua DKJ dan kariernya pada usia 43tahun menjadi profesor tamu di Jepang sampai pensiuan. (kickandy.net).
      Dan kini saatnya kita merubah pola fikir dan menyamakan persepsi bahwa legalitas bukanlah sesuatu yang harus dijadikan sebagai prioritas utama, biarkanlah legalitas mencari kita seiring dengan kualitas dan prestasi yang kita miliki bukan justru sebaliknya. Semoga kita termasuk oran-orang yang berfiikir.